goodmoneyID – Masyarakat kembali dikagetkan dengan bocornya data nasabah KreditPlus. Sebenarnya data KreditPlus sudah lama dibagikan pada pertengahan Juli lalu. Tepatnya tanggal 16 Juli, diupload oleh anggota raid forums dengan nama “ShinyHunters”.
Seperti biasa, member di raidforums membagikan melalui sistem pembayaran kredit mata uang forum tersebut. Setelah membayar, maka akan mendapatkan sebuah link yang diarahkan untuk mendowload file berisi ratusan ribu data pelanggan kreditplus. File unduhan sebesar 78MB harus di ekstrak dan menghasilkan sebuah file sebesar 430MB.
Dalam file tersebut, terdapat 819,976 data nasabah mulai dari nama, KTP, email, status pekerjaan, alamat, data keluarga penjamin pinjaman, tanggal lahir, nomor telepon, dan lainnya.
Pakar Keamanan Siber, Pratama Persadha menjelaskan bahwa informasi yang bocor ini adalah data sensitif yang sangat lengkap, ini sangat berbahaya untuk nasabah. Karena dari kelengkapan data nasabah KreditPlus ini memancing kelompok kriminal untuk melakukan penipuan dan tindak kejahatan yang lainnya.
“Masalah utama di tanah air belum ada UU yang memaksa para penyedia jasa sistem elektronik ini untuk mengamankan dengan maksimal data masyarakat yang dihimpunnya. Sehingga data yang seharusnya semua dienkripsi, masih bisa dilihat dengan mata telanjang,” jelas chairman lembaga riset siber Indonesia CISSReC (Communication & Information System Security Research Center) ini, Selasa (4/8).
Dalam hal ini, Negara punya tanggungjawab untuk melakukan percepatan pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi. Nantinya dalam UU tersebut harus disebutkan bahwa setiap penyedia jasa sistem transaksi elektronik (PSTE) yang tidak mengamankan data masyarakat, bisa dituntut ganti rugi dan dibawa ke pengadilan.
“Hal serupa ada di regulasi perlindungan data pribadi bagi warga uni eropa, GDPR atau General Data Protection Regulation. Setiap data yang dihimpun harus diamankan dengan enkripsi. Bila terbukti lalai, maka penyedia jasa sistem elektronik bisa dikenai tuntutan sampai EUR20 juta. Bisa dibayangkan bila kreditplus ini ada di luar negeri, bisa dikenai pasal kelalaian dalam GDPR. Sama juga dengan peristiwa kebocoran data yang sudah terjadi di tanah air sebelumnya,” terangnya.
Karena itu sangat penting pasal perlindungan ini masuk dalam RUU PDP di tanah air. Pihak penyelenggara sistem transaksi elektronik harus mulai menjadikan data penggunanya sebagai prioritas keamanan. Pilih teknologi enkripsi teraman dan semua data harus dienkripsi. Data offline juga harus mendapatkan model pengamanan yang tidak kalah ketat.
“Untuk mencegah pencurian data berulang, perlu diadakan penetration test dan juga bug bounty. Setiap PSTE bisa memberikan reward yang layak pada setiap pihak yang menemukan celah keamanan pada sistem mereka. Hal ini sering dilakukan Apple, Google, FB, Amazon dan raksasa teknologi lainnya,” jelasnya.
Peristiwa pencurian data yang terus berulang ini sebaiknya mendorong Kominfo dan BSSN untuk lebih sering turun ke lapangan melakukan edukasi dan memaksa PSTE untuk membangun sistem yang lebih baik, terutama dalam melindungi data nasabah atau pelanggan platform mereka. Karena keamanan siber ini akan menjadi salah satu hal yang dijadikan patokan investor untuk berbisnis di tanah air.
“Sebelum pemilik layanan bisa mengamankan data pribadi penggunanya, kita juga harus bisa mengamankan data pribadi kita sendiri. Misalnya yang buat password yang baik dan kuat, aktifkan two factor authentication. Pasang anti virus di setiap gawai yang digunakan, jangan menggunakan wifi gratisan, jangan membuka link yang tidak dikenal dan mencurigakan, serta pengamanan standar lainnya,” tutup Pratama.