goodmoneyID – Belum adanya undang-undang tentang perampasan aset membuat pelaku kejahatan dan pencucian uang tidak jera dan jeri terhadap hukuman yang diterimanya karena yang bersangkutan masih dapat menikmati uang hasil kejahatannya setelah menjalani hukuman badan. Hal tersebut diungkapkan oleh Ungkap Rektor UIN Jakarta, Amany Lubis dalam acara diskusi kontemporer dengan thema : ”Membedah Krusialnya Pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana” hari ini.
Amany Lubis menilai regulasi Indonesia sampai saat ini masih memiliki keterbatasan dalam melakukan penyelamatan aset (asset recovery) yang merupakan hasil tindak pidana.
“Berdasarkan pemantauan yang dilakukan, terlihat bahwa upaya mengambil asset atas hasil tindak pidana di Indonesia belumlah optimal dilakukan, khususnya recovery terhadap hasil tindak pidana yang tidak dapat atau sulit dibuktikan tindak pidananya, termasuk hasil tindak pidana yang dimiliki atau berada dalam penguasaan tersangka atau terdakwa yang telah meninggal dunia,” ucap rektor yang setengah masa usia pendidikan formalnya dihabiskan di Alazhar, Cairo itu, Kamis (25/11).
Permasalahan tersebut di atas dapat diselesaikan dengan penetapan RUU Perampasan Aset. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengatakan RUU ini telah diinisiasi penyusunannya oleh PPATK sejak Tahun 2003 dengan mengadopsi ketentuan dalam The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 dan konsep Non-Conviction Based Forfeiture dari negara-negara common law.
Kenapa RUU ini diperlukan, karena Sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset tindak pidana pada saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukum yang berkeadilan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar.
“Selain itu, pengaturan yang jelas dan komprehensif mengenai pengelolaan aset yang telah dirampas akan mendorong terwujudnya penegakan hukum yang profesional, transparan, dan akuntabel” tambahnya.
Ivan lebih lanjut menyampaikan kepada para mahasiswa/mahasiswa UIN Syarif Hidayatulah untuk lebih peduli terhadap perkembangan yang ada agar tidak tertinggal dari perkembangan hukum dan teknologi.
“Saat ini untuk melakukan transaksi sudah bisa dilakukan oleh robot. Tentu kejahatan juga bisa dilakukannya. Bagaimana agar negara tidak dirugikan, tentu menjadi tanggung jawab kita semua”. tambah Ivan.
Oleh karena itu, maka dirasa perlu membentuk Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana yang ditujukan untuk mengejar aset hasil kejahatan, bukan terhadap pelaku kejahatan.
Dengan demikian, keberadaan RUU Perampasan Aset telah merubah paradigma dari hukum pidana mulai dari yang paling tradisional, yakni untuk menimbulkan efek jera dengan suatu pembalasan (retributionist), bahkan yang paling mutakhir sekalipun, yakni rehabilitasi (rehabilitationist).
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatulah, Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlle SH., MH., MA pada kesempatan yang sama menyampaikan langkah yang harus kita lakukan sekarang ini tak lain mendorong RUU Perampasan Aset ini masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2022 yang biasanya akan dibahas di awal atau akhir tahun 2022.
“Diwaktu-waktu yang terbatas ini, saya kira kita semua sebagai pemangku kepentingan secara bersama mendorong agar RUU ini menjadi Prolegnas Prioritas Tahun 2022”.