goodmoneyID — Tahun depan merupakan tenggat waktu unit usaha syariah (UUS) bank umum untuk memisahkan diri dari induknya atau spin-off. Kendati sudah diberikan waktu dalam mempersiapkan proses tersebut, beban suntikan modal tambahan masih menjadi sebuah persoalan sehingga integrasi menjadi jawaban ideal.
Sesuai ketentuan yang berlaku, spin off UUS wajib dilakukan maksimal 15 tahun sejak diterbitkannya UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah atau paling lambat pada 2023. Artinya jika tidak ada perubahan, maka tersisa sekitar 18 bulan bagi bank umum konvensional yang memiliki UUS untuk menyiapkan modal tambahan.
Kewajiban spin-off juga berlaku untuk UUS yang sudah memiliki nilai aset 50 persen dari total nilai bank induknya. Jika pemisahan UUS dari induk tidak dilakukan, maka pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat mencabut izin usaha Sertifikat Badan Usaha.
Adapun untuk melakukan spin-off, mengikuti aturan permodalan bank terbaru, berarti UUS perlu memiliki modal inti setidaknya Rp1 triliun bila bank induknya telah memenuhi batas bawah modal inti sebesar Rp3 triliun.
Dalam catatan OJK, ada 21 UUS hingga Februari 2021. Aksi korporasi terdekat yang akan mengurangi jumlah UUS adalah rencana PT Bank Syariah Indonesia Tbk. mengakuisisi UUS PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. dan spin-off UUS Bank Sinarmas.
Pengamat ekonomi perbankan Bina Nusantara Universitas (Binus) Doddy Ariefianto menilai konsolidasi merupakan langkah paling ideal bagi UUS untuk memisahkan diri di tengah tenggat waktu yang semakin mepet. Menurutnya konsolidasi atau integrasi dapat lebih menjamin bank semakin kuat dari sisi permodalan, sehingga sesuai dengan tujuan awal kewajiban spin-off UUS, yakni memperkuat industri keuangan syariah.
“Bank itu kan bisnis padat modal, kalau tidak punya modal kuat, bisnisnya di situ saja. Uang Rp 1triliun, Rp3 triliun sebagai syarat modal inti itu uang yang banyak sekali untuk UUS,” kata Doddy.
Dengan konsolidasi, bank seharusnya mendapatkan keuntungan, baik yang melepas maupun yang mengakuisisi. Dalam kasus BTN misalnya, satu sisi BSI terbilang kuat untuk merangkul BTN Syariah dan BTN mendapatkan tambahan modal baru untuk meningkatkan rasio permodalan.
“Kan BTN melepas UUS itu dibeli secara komersial, bukan hibah. Dengan begitu BTN dapat uang dari transaksinya dan BSI dapat amunisi baru untuk memperbesar bisnisnya,” jelas Doddy.
Sementara itu dalam satu forum group discussion (FGD) belum lama ini, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyarankan UUS yang hendak spin-off tetapi terhambat permodalan dapat memilih jalan konsolidasi. “Saya mengusulkan solusi agar melakukan konversi atau penggabungan sehingga modalnya cukup,” katanya.
Hal tersebut sesuai dengan POJK 59/POJK.03/2020 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemisahan UUS. Beleid ini memberikan tiga opsi bagi UUS untuk berpisah dengan induknya.
Pertama dengan bertransformasi menjadi bank umum syariah (BUS). Kedua, mengalihkan hak dan kewajiban UUS kepada bank syariah yang telah ada. Ketiga, mengalihkan hak dan kewajiban kepada bank konvensional yang melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi bank syariah.
Kinerja UUS
Mengutip Statistik Perbankan Syariah dari OJK, per Februari 2022, aset UUS tumbuh 13,39% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp218,44 triliun. Pertumbuhan ini melambat jika dibandingkan dengan capaian Desember 2021 di mana aset UUS naik 19,34% yoy menjadi Rp234,95.
Sementara itu per Februari 2022, pembiayaan tumbuh 12,8% yoy menjadi Rp153,62 triliun. Capaian ini menunjukan tren pemulihan setelah tertekan pandemi Covid-19.
Akan tetapi dari segi laba, UUS mengalami koreksi 6,91% yoy per Februari 2022. Padahal penghujung tahun lalu laba bersih UUS tumbuh 29,47% yoy menjadi Rp4,2 triliun.
Dari segi rasio-rasio penting, tingkat pembiayaan bermasalah UUS dalam tren positif di mana pada bulan kedua tahun ini berada di posisi 2,62%. Akan tetapi tingkat pengembalian aset atau return on asset (ROA) melemah menjadi 1,69 persen dari posisi 2,05% pada Desember 2021.