goodmoneyID – Praktik kejahatan keuangan dengan menggunakan kedok koperasi termasuk pencucian uang yang luas dan sistemik dampaknya di kalangan masyarakat dikhawatirkan akan meningkat kasusnya jika Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian tidak segera disahkan.
Sampai saat ini di Indonesia belum ada regulasi yang mampu menjalankan fungsi sebagai penangkal terjadinya praktik kejahatan keuangan berkedok koperasi, termasuk pencucian uang yang memanfaatkan celah lemahnya pengawasan koperasi.
Oleh karena itu, akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Emi Nurmayanti berharap RUU Perkoperasian yang baru mampu menjadi tameng untuk menangkal aksi kejahatan kerah putih tersebut.
Ia menyebutkan aksi pencucian uang di tubuh koperasi memang sebuah fakta yang tak bisa dipungkiri.
“Di komunitas koperasi ada istilah Pengusaha Koperasi,” kata Emi kepada wartawan, di sela-sela Focus Group Discussion (FGD) RUU Perkoperasian, di Jakarta, Rabu (12/4).
Emi mengakui banyak koperasi, khususnya KSP, yang melayani non anggota. Bahkan, ada KSP yang memiliki 10 ribu nasabah, tapi hanya 200 orang saja yang menjadi anggota koperasi. “Ini salah satu celah untuk praktik pencucian uang,” kata Emi.
Menurut Emi, sebenarnya pada praktik koperasi di Indonesia, banyak yang melanggar karena pengawasan masih kurang dan lemah. Bahkan, untuk penindakan juga belum ada aturan yang jelas dan tegas. “Dan baru di RUU Perkoperasian yang baru ini sudah mulai dibahas tentang pengawasan, hingga sanksi pidana,” kata Emi.
Sementara Dr Yeti Lis Purnamadewi dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB sangat berharap adanya RUU Perkoperasian ini untuk menyelesaikan maraknya kejahatan keuangan, hingga mampu mampu menjamin keamanan KSP.
“Koperasi memang menjadi wadah empuk untuk melakukan pencucian uang,” kata Yeti.
Untuk itu, Yeti meminta aturan untuk mendirikan koperasi, bukan dilihat dari jumlah anggota, tapi untuk membentuk koperasi harus tercapai dari skala ekonominya.