goodmoneyID – Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute Putu Rusta Adijaya mengatakan kebijakan pengembangan kendaraan listrik atau _electric vehicle_ di Indonesia sudah pada koridor yang benar, tetapi belum optimal dan masih banyak tantangan.
“Pengembangan EV kita sudah menggunakan kebijakan “command-and-control policies”, serta “market-based policies”. Ini sudah benar. Namun, masih kurang optimal, mengingat integrasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang belum terlalu kuat. Masih banyak PR, seperti subsidi yang harus tepat sasaran. Mayoritas masyarakat kita punya pendapatan rata-rata Rp5,9 juta per bulan. Smelter nikel untuk EV juga harus dibangun tanpa meninggalkan asas keberlanjutan dan _energy justice_,” paparnya dalam diskusi daring “Policy Talks” The Indonesian Institute berjudul “Evaluasi Kerangka Kebijakan Kendaraan Listrik di Indonesia Tahun 2023” di Jakarta, (4/12/2023).
Putu juga menyatakan bahwa kesadaran publik terhadap perubahan iklim harus ditingkatkan dalam pengembangan EV ini.
“Dorong upaya peningkatan literasi dan kesadaran terkait EV utamanya terkait _environmental movement_. Ini yang terjadi di Tiongkok dan AS. Perlu kerja sama lintas sektoral. Ini yang harus diperkuat. Perkuat juga sisi penawaran kita sebelum sisi permintaan agar pengembangan ekosistem EV di Tanah Air bisa terakselerasi,” tambahnya.
Senada dengan Putu, Koordinator Penerapan Teknologi Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Nurcahyanto, menyampaikan bahwa pengembangan KBLBB ini dipenuhi banyak tantangan dan Kementerian ESDM nanti akan ikut di dalam merevisi Perpres 55/2019 tentang kendaraan listrik.
“Memang saat ini dipenuhi tantangan. ESDM sudah sangat berusaha di dalam mengimplementasikan mandat Perpres 55/2019 tersebut. Nantinya, Perpres ini akan direvisi, ada yang perlu dievaluasi. _Local content_ -nya, bea masuk komponen baterai, dan sebagainya,” ujarnya.
Dirinya juga menyatakan bahwa Kementerian ESDM juga telah memanfaatkan platform digital guna mempercepat konversi ke KBLBB.
“Kami sudah sediakan platform digital agar masyarakat dapat lebih mudah mengetahui tentang konversi KBLBB ini. Untuk roda dua, sudah ada 31 bengkel konversi KBLBB. Memang harus hati-hati di dalam mengembangkan ekosistem EV ini,” tambah Nurcahyanto.
Pembicara dari Asia Technology Lead Institute for Energy Economics and Financial Analysis, Putra Adhiguna, menyatakan bahwa tahun 2017 adalah puncak dari mobil konvensional.
“Tahun 2017 adalah _peak_ dari penjualan mobil konvensional. Pengembangan EV di Indonesia perlu _parallel action_, satu transisi energinya dan satu transisi kendaraannya,” katanya.
Putra mengatakan bahwa pengembangan ekosistem EV memang harus didukung oleh semua pihak, tidak terkecuali pemain industri otomotif konvensional. Komitmen jangka panjang juga perlu didorong.
“_Industry leader_ yang _incumbent_ itu juga harus ikut serta dalam proses transisi ke EV. Selain itu, bagi Pemerintah, dalam menetapkan subsidi itu juga harus ada sebuah rasionalitas. Pengembangan EV ini tidak akan bisa lepas dari _political will_. Harus ada _multi-year commitment_.Ini yang perlu didorong,” tuturnya.
Selanjutnya, Peneliti dari Purnomo Yusgiantoro Center, Akhmad Hanan, mengatakan bahwa smelter yang mendukung EV juga masih sedikit.
“Kita punya cadangan nikel, tapi masih 3 smelter nikel yang untuk EV. Sementara, sekitar 45% komponen EV adalah baterai. Perlu adanya kerjasama holistik tidak hanya Kementerian/Lembaga saja, tapi juga mengajak akademisi dan masyarakat,” paparnya.
Menanggapi hasil penelitian Putu, ia menilai bahwa Pemerintah Pusat dapat memberikan insentif-disentif bagi Pemerintah Provinsi di dalam pengembangan ekosistem EV.
“Pemerintah Pusat dapat mewajibkan Pemprov untuk mengembangkan EV baik roda dua dan roda empat. Ada sanksi dan _rewards_ bagi para pemangku kepentingan terkait EV. EV di luar Jawa itu belum berkembang karena kurangnya infrastruktur SPKLU dan infrastruktur pendukung lainnya. Ini dapat melibatkan pihak swasta dalam pengembangannya,” tuturnya.