RUU Ketenagakerjaan Dinilai Jadi Jalur Paling Realistis Lindungi Nasib Ojol

Loading

goodmoneyID — Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) menilai, revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang tengah dibahas DPR RI menjadi peluang terbaik untuk memberikan perlindungan hukum bagi para pekerja ojek daring (ojol). Menurut IDEAS, memasukkan klausul pekerja digital ke dalam RUU Perubahan Ketiga UU No. 13 Tahun 2003 jauh lebih memungkinkan ketimbang merancang undang-undang baru atau menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Peneliti IDEAS, Muhammad Anwar, menjelaskan bahwa meski secara substansi membuat UU baru akan lebih ideal, prosesnya sangat panjang dan penuh dinamika politik. Lebih jauh, isu pekerja digital pun belum masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, bahkan tidak masuk daftar tunggu (waiting list). “Artinya, secara politik, peluangnya sangat kecil untuk dibahas dalam waktu dekat,” kata Anwar dalam keterangan tertulisnya.

Sementara itu, penerbitan Perppu oleh Presiden juga dinilai tidak realistis. Meskipun Perppu bisa menjadi solusi cepat, syarat konstitusionalnya sangat ketat. Berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 dan tafsir Mahkamah Konstitusi, Perppu hanya bisa diterbitkan dalam kondisi kegentingan memaksa. “Kekosongan hukum atau relasi kerja yang timpang saja belum cukup. Harus ada krisis nyata yang mengancam kepentingan umum,” jelas Anwar.

Dengan dua opsi tersebut dianggap sulit, IDEAS mendorong agar perlindungan bagi pekerja ojol dimasukkan langsung ke dalam RUU Perubahan UU Ketenagakerjaan yang sudah masuk Prolegnas Prioritas dan tengah dibahas. Terlebih, Mahkamah Konstitusi lewat Putusan No. 168/PUU-XXI/2023 juga telah menegaskan bahwa regulasi ketenagakerjaan harus berdiri sendiri, terpisah dari UU Cipta Kerja.

Namun demikian, efektivitas pengaturan tetap bergantung pada kejelasan status hukum pengemudi ojol. Apakah mereka akan dikategorikan sebagai pekerja formal, informal, atau bentuk entitas baru sebagai mitra platform. Tanpa kejelasan ini, aturan yang dibuat akan rawan multitafsir dan bisa saja gagal memberi perlindungan substantif.

“Status hukum yang jelas adalah syarat mutlak sebelum bicara soal perlindungan dalam regulasi,” tegas Anwar.

Anwar menekankan, apa pun bentuk regulasinya nanti, substansi perlindungan harus mengacu pada lima prinsip kerja layak (decent work): upah yang adil, kondisi kerja yang aman, kontrak kerja yang seimbang, manajemen yang partisipatif, dan adanya keterwakilan pekerja. Sayangnya, hasil survei nasional IDEAS 2023 menunjukkan kelima prinsip itu belum terpenuhi dalam ekosistem ride hailing di Indonesia.

Pendapatan mitra ojol, misalnya, anjlok dari Rp305.000 per hari sebelum pandemi menjadi hanya Rp168.000 per hari pada 2023. Setelah dipotong biaya operasional, penghasilan bersih mereka bahkan tak sampai separuh dari upah minimum kota. Sebagian besar bekerja lebih dari 9 jam per hari tanpa hari libur, rawan kecelakaan, dan minim perlindungan sosial. Dari total responden, 58,7 persen bekerja lebih dari 61 jam seminggu dan 31,6 persen pernah mengalami kecelakaan, namun hanya 12,9 persen yang mendapat perlindungan BPJS dari aplikator.

“Mereka disebut mitra, tapi faktanya diperlakukan seperti buruh. Tarif ditetapkan sepihak, potongan besar, bonus sulit dicapai, bahkan akun bisa disuspend sewaktu-waktu tanpa penjelasan,” papar Anwar.

Kondisi timpang juga terlihat dari minimnya ruang dialog antara mitra dan aplikator. Sekitar 76 persen mitra ojol tidak pernah berkomunikasi langsung dengan pihak aplikator. Walau tak ada larangan eksplisit untuk membentuk serikat pekerja, beberapa aplikator mencantumkan aturan yang multitafsir, seperti larangan mengikuti demonstrasi ilegal, yang justru menimbulkan ketakutan di kalangan mitra untuk bergabung dalam forum advokasi atau serikat.

“Temuan kami, 67,1 persen mitra percaya aplikator secara tidak langsung melarang pembentukan atau keikutsertaan dalam serikat pekerja,” ungkapnya.

Karena itu, Anwar mendesak agar pemerintah dan DPR memanfaatkan momentum revisi UU Ketenagakerjaan ini untuk memastikan perlindungan nyata bagi pekerja ojol. “Negara tidak boleh abai. Teknologi digital seharusnya menjadi alat pemajuan kesejahteraan, bukan bentuk baru eksploitasi,” pungkasnya.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x