goodmoneyID – Peneliti Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Fajri Azhari mengatakan bahwa kebijakan intervensi kesehatan yang kuat mampu mengendalikan penyebaran Covid-19 di Indonesia.
Berdasarkan bukti empiris, terlihat pada PSBB jilid dua di DKI pada 9 September 2020 sampai 12 Oktober 2020, dimana saat itu terjadi pengurangan kasus positif harian sebesar 23 persen.
“Kebijakan rem darurat yang dilakukan Pemprov DKI cukup berhasil menekan laju penularan virus. Namun disayangkan pasca penghentian PSBB jilid dua, kasus kembali melesat tembus 1.600 kasus pada 16 Desember dengan kenaikan sebesar 46 persen dan hampir sama dengan kondisi sebelum PSBB jilid dua,” Kata Fajri dalam Agenda Public Expose Catatan Akhir Tahun IDEAS yang bertajuk ‘Indonesia di Pusaran Pandemi: Kontribusi dan Harapan’ di Jakarta, Rabu (23/12).
Fajri menambahkan bahwa Positivity rate Indonesia konsisten meningkat sejak Juni 2020 dari angka 11,6 persen ke 14,8 persen per 22 Desember 2020. Bahkan jika dilihat menurut angka positivity harian pada tanggal 21 Desember 2020 mencapai 27,7 persen, artinya hampir 1 dari 3 orang yang diperiksa terkonfirmasi positif covid-19.
Menurutnya Penularan virus yang saat ini belum terkendali adalah cerminan intervensi penanganan pandemi yang masih lemah.
“Dibutuhkan kebijakan yang mampu menurunkan tingkat penularan covid-19 sampai dibawah 5 persen untuk memastikan penularan virus terkendali seperti penguatan pembatasan mobilitas sosial yang ketat, bukan hanya sekedar slogan PSBB,” tutur Peneliti bidang Kesehatan Publik ini.
Terkait dengan kebijakan Vaksinisasi Nasional Fajri mengingatkan bahwa sebelum vaksin diedarkan, pemerintah perlu memperhatikan tingkat kepercayaan publik terhadap vaksin.
“Di sisi lain, jurnal kesehatan The Lancet menyebutkan, bahwa distribusi vaksin covid-19 yang efektif sekalipun dapat meningkatkan risiko kesehatan bila masyarakat yang divaksin mengabaikan protokol kesehatan karena merasa kebal terhadap virus,” ungkap Fajri.
Puncak kurva pandemi yang belum terliat menggambarkan ketidakpastian kapan pandemi berakhir. IDEAS melihat Vaksin bukan satu-satunya solusi penanganan pandemi, ada faktor lain seperti 3M masyarakat yang semakin hari kian lengah dan bahayanya justru menimbulkan persepsi ‘wabah telah berakhir’.
“Kedepan, Pemerintah diharapkan fokus memperbaiki 3T (Testing, Tracing, Treatment) dengan data yang sinkron antar pemerintah pusat dan daerah serta memenuhi standarisasi kesehatan global sebagai acuan untuk mengambil kebijakan,” beber Fajri.
Sembilan bulan pasca pandemi peranan gerakan masyarakat sipil dalam penanggulangan wabah pandemi tidak bisa dipandang sebelah mata. General Manager kesehatan Dompet Dhuafa, Yeni Purnamasari yang juga menjadi pemateri di Public Ekspose tersebut mengatakan bahwa lembaganya telah menggulirkan berbagai program dalam penangan Covid-19.
“Dompet Dhuafa mencoba memberikan kontribusi dalam masalah pandemi ini, mulai dari penyediaan sarana layanan kesehatan, menyelenggarakan rapid test di rumah sakit jaringan Dompet Dhuafa, sampai berkontribusi dalam memberikan layanan sosial ekonomi kepada masyarakat miskin yang terkena dampak pandemi,” kata Yeni.
Yeni menambahkan bahwa sejak awal pandemi Dompet Dhuafa telah menggulirkan program Cegah Tangkal Corona yang terdiri dari pembukaan saluran siaga (Hotline) Covid-19, edukasi perilaku hidup bersih dan sehat, layanan penyemprotan disinfektan.
Selanjutnya bantuan Logistik dan Hygiene kit, Layanan Ambulance dan Faskes Siaga, Penyediaan Alat Perlindungan diri (APD), Penerapan Work From home (WFH), Saluran Siaga Dukungan Psikososial, Relawan Kesehatan Khusus, Layanan Jenazah, Disinfection Chamber, Relawan Non Medis.
“Terkait program distribusi logistik pangan Dompet Dhuafa telah menyalurkan 36.154 paket sembako untuk dhuafa, 7.667 porsi makanan siap saji, 436 kepala keluarga program kebun pangan keluarga,” tutup Yeni.