goodmoneyID – Badan Pusat Statistik (BPS) minggu lalu, mencatat bahwa GDP Indonesia pada kuartal IV 2020 turun hingga 2,19%. Penurunan ini adalah yang terburuk sejak 1998. GDP atau PDB (Produk Domestik Bruto) merupakan total produk dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam satu tahun. GDP berguna untuk melihat pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Singkatnya, Jika produk dan jasa suatu negara naik, maka ekonominya iktu naik, dan GDP juga naik. Sebaliknya, jika GDP suatu negara turun, otomatis aktivitas ekonominya turun, dan fenomena penurunan inilah yang disebut dengan resesi ekonomi.
Resesi ekonomi ini bisa terjadi jika GDP turun secara berturut-turut dalam beberapa periode waktu. Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa Indonesia masih berada dalam posisi resesi, sebab ekonominya tumbuh negatif dalam tiga kuartal berturut-turut.
Secara keseluruhan tahun 2020, GDP Indonesia jatuh atau minus 2,07% dari tahun sebelumnya. Pada krisis keuangan tahun 1998 dulu indonesia sempat resesi sampai minus 13%.
Pembatasan sosial dibeberapa daerah juga menjadi penyebab konsusmsi rumah tangga turun hingga 3,6% dari tahun sebelumnya, dan turun 4,1% dari kuartal sebelumnya. Kita tahu padahal konsumsi publik adalah faktor paling utama pendorong ekonomi Indonesia.
Sementara itu, investasi yang masuk juga turun hingga 6,2%. Sedangkan, belanja pemerintah yang diharapkan bisa menggerakkan ekonomi ternyata hanya sebesar 1,8% aja, justru lebih sedikit dibanding periode sebelumnya yang pertumbuhannya mencapai 9,8%.
Banyak faktor yang menyebabkan GDP Indonesia masih minus, di antaranya menurut para ekonom sih, adalah penyerapan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang tidak maksimal.
Anggaran PEN yang dikucurkan pemerintah sebagai respons atas pandemi Covid-19. pada tahun 2020 kemarin itu totalnya Rp 695,2 triliun, namun menurut Menkeu Bu Sri Mulyani, pemerintah hanya mampu menyalurkan dana sebesar Rp579,78 triliun atau 83,4% dari total anggaran.
Adapun penyaluran dana PEN meliputi Rp 63,51 triliun untuk klaster kesehatan, Rp 220,39 triliun untuk perlindungan sosial, Rp 66,59 triliun untuk kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, Rp 112,44 triliun untuk mendukung UMKM, Rp 60,74 untuk pembiayaan korporasi, dan Rp 56,12 triliun untuk insentif usaha.
Menurut ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara, penurunan ini terjadi karena pemerintah salah langkah dalam menyalurkan stimulis keuangan di tahun lalu.
Selain itu, kepercayaan masyarakat juga belum pulih karena pemerintah belum bisa mengendalikan tambahan kasus harian kasus covid-19, jadi banyak warga yang tetup menunda konsumsi dan kembali keep uangnya di bank.
Lebih jauh Bhima juga menyebut bahwa Indonesia butuh waktu lama untuk memulihkan ekonomi, karena kepercayaan masyarakat terhadap vaksin sudah berkurang. Padahal, program vaksinasi merupakan senjata utama untuk mendorong perekonomian.