goodmoneyID – Potensi perkembangan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia masih sangat tinggi dan besar. Sektor ekonomi syariah di Indonesia meliputi perbankan syariah, keuangan nonbank, pasar modal, rumah sakit Islam, perhotelan, pariwisata, halal food, fashion dan masih banyak lagi.
Khusus di perbankan syariah, baru baru ini pada tanggal 2 Februari 2021, Indonesia telah mempunyai Bank Syariah Indonesia (BSI), hasil merger 3 Bank BUMN. Tentu hal ini menjadi faktor utama industri Perbankan syariah mampu terdongkrak.
Lantas bagaimana peluang dan tantangan Perbankan syariah pasca terbentuknya BSI ini?
Ketua Dewan Komisioner Otoritas jasa keuangan Indonesia (OJK) Wimboh Santoso menjelaskan perbankan syariah di Indonesia mempunyai peluang yang besar, pertama dilihat dari jumlah penduduknya yang 87% atau setara 230 juta adalah muslim, potensi seperti ini harus di manfaatkan dan ditangkap secara nyata.
Kedua, berdasarkan laporan The State of The Global Islamic Economy 2020, mencatat negara Indonesia kini menempati posisi ke-4, meningkat dari posisi ke-5 di tahun 2019 dan tahun sebelumnya yang menempati posisi ke-10, dalam keuangan syariah.
Ketiga, pada tahun 2019 ekonomi Syariah Indonesia tumbuh melampaui rata rata nasional yakni sebesar 5,72% (PDB nasional saat itu yang 5,02%).
Keempat, Semakin meningkatnya industri halal Indonesia dimana pada tahun 2020, nilai perdagangan industri halal Indonesia telah mencapai 3 Miliar dolar AS dengan tren yang meningkat.
Namun, Wimboh juga menuturkan bahwa potensi ini harus dimaksimalkan, sebab selain potensi Indonesia juga masih mempunyai tantangan dalam perkembangan ekonomi syariah kedepan.
“Untuk meningkatkan capaian industri keuangan syariah di Indonesia dengan memaksimalkan potensi dimaksud, kami memandang masih terdapat beberapa tantangan yang akan dihadapi ke depan,” ujar Wimboh, dalam paparannya di acara Peluang dan Tantangan Perbankan Syariah Pasca Merger Bank Syariah BUMN, Rabu (10/2).
Wimboh melanjutkan, tantangan tersebut meliputi pertama, Market share industri jasa keuangan Syariah masih relatif kecil, yaitu sebesar 9,90% dari aset industri keuangan nasional.
“Perbankan Syariah dituntut mampu menyediakan kebutuhan keuangan dalam pengembangan industri halal dan pengembangan Lembaga Keuangan Syariah,” imbuh Wimboh.
Kedua, permodalan yang terbatas, dimana masih terdapat 6 (enam) Bank Syariah yang memiliki modal inti di bawah Rp2 triliun dari total 14 bank umum Syariah per Desember 2020.
Ketiga, literasi keuangan Syariah yang masih sangat rendah, yaitu sebesar 8,93%, jauh tertinggal dibandingkan indeks nasional sebesar 38,03%. Sementara Indeks Inklusi Keuangan Syariah yang sebesar 9,1% juga masih tertinggal dibandingkan indeks nasional sebesar 76,19%.
Keempat, terbatasnya sumber daya di industri keuangan syariah, antara lain kebutuhan sumber daya manusia yang handal dan memiliki kompetensi tinggi di bidang perbankan Syariah.
“Competitiveness produk dan layanan keuangan Syariah yang belum setara dibandingkan keuangan konvensional. Dalam hal ini, diversifikasi produk keuangan Syariah dan business matching menjadi hal yang sangat krusial,” kata Wimboh.
Kelima, rendahnya research and development dalam mengembangkan produk dan layanan syariah lebih inovatif.