goodmoneyID – Australia mencabut pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sebesar 28,3% untuk eksportir produk trafo daya (power transformers) asal Indonesia. Keputusan ini ditetapkan berdasarkan laporan akhir dari Anti Dumping Review Panel (ADRP) Australia yang dirilis pada 14 September 2020. Produk trafo daya adalah perangkat listrik pasif yang mentransfer energi listrik dari satu rangkaian listrik ke rangkaian lainnya atau beberapa rangkaian.
Trafo paling sering digunakan untuk meningkatkan tegangan listrik rendah pada arus tinggi atau menurunkan tegangan listrik tinggi pada arus rendah dalam aplikasi tenaga listrik dan untuk menggabungkan tahapan rangkaian pemrosesan sinyal elektromagnet.
“Tentu kita menyambut baik keputusan Australia mencabut BMAD bagi salah satu eksportir trafo daya Indonesia ini. Peluang mengisi pasar di Australia semakin terbuka, mengingat Taiwan sebagai salah satu pesaing saat ini masih dikenakan BMAD. Kita berharap kinerja ekspor produk ini kembali meningkat sehingga dapat mendorong pemulihan ekonomi nasional saat ini,” ujar Menteri Perdagangan RI Agus Suparmanto, Di Jakarta, Senin (21/9).
Mendag juga menegaskan, bahwa pencabutan BMAD ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada upaya mempertahankan, bahkan meningkatkan ekspor Indonesia ke Australia di tengah pandemi Covid-19.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Didi Sumedi mengungkapkan, pencapaian ini tak lepas dari kerja keras dari pemerintah dan eksportir Indonesia dalam memperjuangkan hambatan dagang tersebut.
“Sejak awal penyelidikan, baik pemerintah maupun eksportir selalu bersikap kooperatif. Australia tetap mengenakan BMAD setelah sunset review dan Indonesia mengajukan banding ke ADRP karena tidak terdapat bukti yang mendukung untuk dilanjutkannya perpanjangan pengenaan BMAD tersebut,” ujar Didi.
Laporan akhir ini merupakan hasil upaya banding perusahaan yang didukung Pemerintah Indonesia atas keputusan Australia yang memperpanjang penerapan BMAD selama lima tahun ke depan dengan besaran 28,3% berdasarkan temuan penyelidikan peninjauan kembali (review) pada 6 November 2019 silam.
“Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya, baik secara prosedural melalui serangkaian submisi pembelaan ke Otoritas dan ADRP maupun melalui upaya diplomasi tingkat pejabat tinggi (high level officials) selama penyelidikan peninjauan kembali oleh ADRP. Tujuannya, agar akses pasar di Australia kembali terbuka lebar,” tegas Direktur Pengamanan Perdagangan Pradnyawati.
Kendati menyambut baik putusan tersebut, lanjut Pradnyawati, penghentian pengenaan BMAD ini hanya diberikan kepada perusahaan eksportir yang mengajukan banding ke ADRP. Saat ini, ekspor produk trafo daya ke Australia hanya dilakukan oleh satu atau dua perusahaan nasional. Diharapkan, di masa datang akan lebih banyak lagi eksportir nasional yang dapat memenuhi kebutuhan produk tersebut di dunia.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, kinerja nilai ekspor trafo daya Indonesia ke Australia cenderung menurun setelah dikenakan BMAD dengan besaran 28,3% pada 2014. Pada 2015, nilai ekspor produk tersebut ke Australia sebesar USD7,4 juta namun turun drastis menjadi USD797 ribu pada 2018 dan terus mengalami tren penurunan hingga USD667 ribu pada 2019. Pada tingkat global, ekspor trafo daya Indonesia mengalami pasang surut.
Pada 2015, kinerja ekspor produk tersebut mencapai USD42 juta, namun turun menjadi USD9,7 juta pada 2016 dan USD4,6 juta di tahun 2017. Kinerja kembali membaik pada 2018 dengan mencatat nilai ekspor mencapai USD14,11 juta dan naik menjadi USD22,3 juta di tahun 2019. Pasar global produk trafo daya diproyeksikan mencapai USD31,5 miliar pada 2025.
Hal itu disebabkan permintaan energi yang tinggi, lonjakan investasi di pembangkit listrik baru, meningkatnya pengeluaran utilitas untuk meningkatkan infrastruktur transmisi dan distribusi ke standar smart grid, serta penjualan yang kuat dari trafo yang hemat energi dan ramah lingkungan.
“Pemerintah Indonesia akan terus mendorong eksportir memanfaatkan peluang ini secara optimal guna meningkatkan kinerja ekspor produk trafo daya di tengah kelesuan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Tentunya hal itu dilakukan dengan tetap memperhatikan ketentuan perdagangan internasional guna menghindari tuduhan serupa di masa yang akan datang,” pungkas Pradnyawati.