goodmoneyID – Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menilai bahwa pelaksanaan Belajar Dari Rumah (BDR) membuat ketimpangan pendidikan Indonesia yang telah lama ada, menjadi semakin melebar.
“Pandemi telah memperburuk masalah ketimpangan pendidikan ini dimana kebijakan penutupan sekolah untuk menekan penyebaran virus, telah membuat akses kelompok miskin dan mereka yang tinggal di daerah tertinggal menjadi semakin sulit,” kata Nuri Ikawati, peneliti IDEAS dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu (18/12/2021).
Sebelum pandemi, ketimpangan pendidikan banyak disumbang oleh ketertinggalan wilayah dan tingkat pendapatan keluarga. Kesenjangan pendidikan muncul sebagai hasil dari akses dan kualitas pendidikan yang tidak merata.
“Learning loss yang muncul sebagai akibat penutupan sekolah, bebannya terdistribusi tidak merata, dimana kelompok miskin menanggung beban learning loss jauh lebih besar,” ungkap Nuri.
Peserta didik yang tidak memiliki akses memadai terhadap Pembelajaaran Jarak Jauh (PJJ) seperti jaringan internet, guru yang berkualitas dan adaptif, serta orang tua yang mampu mendampingi dan memberikan fasilitas PJJ akan kehilangan kesempatan belajar yang seharusnya mereka dapatkan dalam pembelajaran normal.
“Dalam jangka panjang dampak BDR di masa pandemi sangat mencemaskan yaitu si anak miskin dan rentan semakin jauh tertinggal, semakin rendah keahlian dan ketrampilannya, semakin lemah daya saingnya di pasar tenaga kerja, dan akan semakin sulit memperbaiki kesejahteraannya di masa depan,” tutur Nuri.
Survei IDEAS menunjukkan arah kesimpulan yang serupa yaitu pengalaman dan capaian belajar peserta didik jauh menurun di masa pandemi.
Survei tersebut dilakukan terhadap 98 kepala sekolah, 515 guru dan 826 peserta didik dari 114 satuan pendidikan setingkat SD-SMP yang tersebar di 9 provinsi, pada Agustus-September 2021 yang lalu.
“Sebelum pandemi, 85,2 persen responden peserta didik mengaku mendapatkan 3 sampai 6 mata pelajaran per hari. Selama pandemi, 91,4 persen responden mengaku hanya mendapat 1 sampai 3 mapel saja per hari,” ujar Nuri.
Dia menambahkan bahwa secara keseluruhan, mapel yang diterima peserta didik menurun dari rata-rata 3,7 mapel per hari sebelum pandemi menjadi 2,2 mapel per hari di saat pandemi.
“lebih jauh terkait durasi waktu belajar, selama pandemi 89,7 persen responden peserta didik mengaku menghabiskan 5 – 8 jam per hari untuk belajar. Di masa pandemi, 85,2 persen responden hanya belajar 2 -4 jam per hari,” papar Nuri.
Secara keseluruhan, waktu belajar peserta didik menurun dari rata-rata 5,6 jam per hari sebelum pandemi menjadi hanya 2,7 jam per hari di saat pandemi.
Menurut Nuri membuka kembali sekolah adalah keharusan dan tidak terhindarkan di banyak wilayah dengan keterbatasan kemampuan PJJ. Namun dengan merebaknya klaster sekolah seiring PTM terbatas, dan ancaman varian baru Covid-19, kebijakan PTM 100 persen adalah eksperimen yang beresiko tinggi.
“Dengan pandemi masih belum diketahui kapan akan berakhir, daripada terburu-buru mengejar PTM 100 persen, memperbaiki dan menyempurnakan pelaksanaan PTM Terbatas serta menyiapkan desain BDR yang lebih nyaman, menyenangkan, dan terjangkau, jauh lebih prioritas dan mendesak,” tutup Nuri.