goodmoneyID – Struktur kepemilikan tanah petani di Indonesia mengalami ketimpangan. Ini terlihat dari angka Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) yang sebagian besar memiliki lahan sempit. Menyusutnya luas area kepemilikan tanah petani kecil tersebut dikarenakan masuknya korporasi besar yang berhasil merebut sebagian sektor pertanahan strategis di Indonesia.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dioleh Indonesia Islamic and Development Studies (IDEAS), pada 2018, hanya 1,7% RTUP yang memiliki lahan lebih dari 5 hektar (ha). Sebanyak 9,2% RTUP memiliki lahan seluas 2-4,9 ha; 30,4% RTUP memiliki 0,5-1,9 ha; dan 58,7% RTUP punya luas lahan kurang dari 0,5 ha.
Yusuf Wibisono, Direktur Eksekutif IDEAS mengatakan, merujuk UU No.5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, secara sosial ekonomi tanah adalah faktor produksi penting untuk ketahanan pangan dan penanggulangan kemiskinan. “Pemerataan lahan adalah krusial untuk efisiensi dan keadilan,” ujar Yusuf.
Namun demikian, realitasnya terjadi perubahan radikal dalam penggunaan tanah seriing pemberian konsesi pengelolaan ke segelintir pemilik kapital raksasa. Data IDEAS, pada 2016, luas perkebunan kelapa sawit yang 20 tahun lalu dikisaran 3 juta hektar, kini telah menembus 12 juta hektar. Dari luas tersebut 3,16 juta hektar diantaranya dikuasai hanya oleh 15 perusahaan besar swasta.
Meningkatnya konversi lahan hutan dan pertanian menjadi ladang perkebunan dan pertambangan kerap menghasilkan konflik dengan warga sekitar. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam rentang 7 tahun terakhir (2011-2018), telah terjadi 2.973 kasus konflik agraria. Dari konflik tersebut, 106 orang meninggal, 841 orang luka-luka dan 1.691 orang ditahan. Umumnya mereka adalah petani kecil.