Oleh: Djoko Retnadi, Direktur Pelaksana Indonesia Exim Bank 2019-2020
goodmoneyID – Ekspor Indonesia sepanjang Januari sampai dengan Agustus 2021 mencapai USD 142 miliar, meningkat 37,70% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2020. Kenaikan ekspor tersebut terutama ditopang oleh komoditas non migas yang meningkat sebesar 51,78% menjadi USD 134 miliar atau porsinya mencapai 94% terhadap total eskpor.
Dari angka ekspor non migas tersebut, sektor industri pengolahan (manufaktur) meningkat paling tinggi sebesar 34,12%, menjadi USD 111 miliar. Namun demikian, komposisi ekspor industri pengolahan ternyata masih didominasi oleh tiga produk utama yaitu, lemak dan minyak hewani/nabati termasuk minyak sawit sebesar 20%, bahan bakar mineral termasuk batu bara sebesar 14%, produk besi dan baja 9%.
Jika melihat ketiga komoditas unggulan ekspor tersebut, dapat dipastikan bahwa pelaku ekspor komoditas ini berasal dari segmen bisnis besar atau korporasi.
Beberapa waktu lalu, Menteri UMKMK Teten Masduki menyampaikan harapannya agar peran produk ekspor UKM dapat mencapai porsi 21,6% di tahun 2024. Saat ini peran ekspor produk UKM masih 14%, tertinggal jauh dibandingkan dengan Thailand 29%, Singapura 41%, bahkan di China mencapai 60%.
Untuk mencapai target tersebut, menurut Teten Masduki, ada empat langkah yang harus ditempuh yaitu pertama, inventarisasi potensi produk UKM beserta tujuan pasarnya. Kedua, peningkatan kualitas sumber daya pelaku UKM dan produk. Ketiga memberikan kemudahan bagi UKM ekspor untuk memperoleh bantuan pembiayaan, baik berupa pinjaman maupun modal ventura, Keempat, membantu pemasaran produk, baik melalui off line, maupun online.
Namun demikian, menurut pengalaman dan pengamatan penulis, masih terdapat beberapa “PR” yang harus dikerjakan agar UKM semakin berdaya saing di pasaran ekspor. Pertama, perlu adanya pemberian subsidi bunga pinjaman untuk UKM ekspor. Kedua, perlunya program linkage UKM dengan eksportir besar. Ketiga, Digalakkannya program industry for industry. Dan keempat, perlunya koordinasi intensif semua pihak yang terkait dalam pembinaan dan pendampingan UKM ekspor.
Uraian terhadap langkah yang disampaikan oleh Teten tersebut tidak akan dibahas dalam tulisan ini, sehingga hanya variable terakhir yang akan diulas.
Pemberian subsidi bunga untuk pinjaman UKM sangat mutlak karena UKM lebih banyak menanggung risiko dan persaingan yang lebih berat di pasar ekspor. Tanpa adanya subsidi bunga, UKM kita seolah sudah kalah start dibandingkan dengan UKM di negara kompetitor yang memiliki suku bunga lebih rendah.
Kebijakan pemberian subsidi bunga untuk UKM sebenarnya telah berjalan seperti KUR yang berbunga enam persen per tahun. Namun besaran pinjaman KUR yang hanya sampai dengan Rp. 500 juta tidak akan mencukupi bagi UKM yang berskala ekspor. Pemerintah juga telah mencoba memberikan stimulus pemulihan UKM ekspor senilai Rp 1 triliun melalui Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), dengan plafon pinjaman sampai dengan Rp 15 miliar per debitor dan suku bunga enam persen setahun.
Sampai saat ini penyerapan dana tersebut masih perlu digaungkan karena masih adanya kendala, baik karena kondisi eksternal makro ekonomi yang belum sepenuhnya pulih atau masih adanya keengganan pelaku UKM menambah pinjaman.
Program linkage antara eksporter besar dengan UKM sangat efektif di dalam mempercepat UKM agar dapat bersaing di pasar global. Pada tahap awal para UKM dapat berperan sebagai pemasok ke eksporter besar. Dalam tahap ini UKM akan belajar bagaimana mengelola risiko ekspor, menjalin relasi dengan pembeli di luar, sertifikasi mutu, dan menakar kemampuan volume pasokan. Pada tahap selanjutnya, UKM dapat merintis ekspor langsung ke pembeli luar negeri.
Skema linkage program ini telah dicoba di LPEI berupa skema pembiayaan rantai pasok (Supply Chain Financing/SCF) yang tampaknya dapat dikembangkan menjadi model pendampingan UKM ekspor. Model ini akan sangat membantu di tengah UKM ekspor menghadapi kesulitan menyewa peti kemas. Dengan adanya link kepada perusahaan eksporter besar, maka UKM ekspor dapat dibantu diberikan sebagian ruangan peti kemas yang digunakan oleh eksporter besar.
Program industries for industries merupakan kondisi yang lazim ditemukan di negara yang volume ekspor UKM nya tinggi. Sebagai contoh di China, mayoritas UKM tidak menemui hambatan ketika membutuhkan mesin-mesin dan peralatan cetak, moulding, alat kemasan dan lain-lain ketika mereka merencanakan desain produk yang akan mereka ekspor.
Semua mesin dan peralatan yang dibutuhkan UKM dapat dipesan di industri mesin skala besar. Berbeda halnya dengan kondisi di tanah air, ketika sebagian besar UKM terpaksa masih harus impor mesin dan peralatan dari luar sekedar untuk memperoleh alat untuk menggoreng produk, mengemas, memotong dan mensortir, mencetak produk dan sebagainya. Kondisi ini jelas mengurangi daya saing UKM kita ketika menentukan harga produk karena terdapat barang yang harus diimpor.
Akhirnya yang tidak kalah penting adalah adanya integrasi pembinaan dan pendampingan UKM ekspor oleh Kementerian atau Lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengkoordinasikan berbagai program pelatihan dan pendampingan UKM ekspor yang telah berjalan selama ini. Seperti diketahui saat ini, cukup banyak Kementerian/Lembaga atau perusahaan yang telah memberikan pelatihan dan pendampingan kepada UKM ekspor.
Tujuannya adalah agar UKM dapat mengekspor produknya secara kontinyu dan bersaing. Sebagai contoh Kementerian UKMK bekerjasama dengan KADIN mendirikan Sekolah Ekspor, Kementerian Perdagangan memiliki Pusat Pengembangan dan Pelatihan Ekspor (PPE), Kementerian Perindustrian memiliki program Industri Kecil Menengah (IKM), Bank Indonesia, Dirjen Bea Cukai dengan Klinik Ekspor, Himbara dengan Rumah BUMN, LPEI dengan CPNE (Coaching Program for New Exporter) dan masih banyak lagi.
Namun sampai saat ini tampaknya belum ada satu lembaga khusus yang secara rutin mengevaluasi keberhasilan program-progam tersebut dalam rangka mengetahui dampaknya terhadap kemajuan ekspor oleh UKM.
Oleh karena itu perlu segera ditunjuk sebuah lembaga yang secara rutin melakukan koordinasi terhadap semua pihak yang terlibat dalam pelatihan dan pendampingan UKM ekspor, dalam rangka akselerasi dan pemerataan kesempatan kepada UKM yang tersebar di seluruh tanah air.
Apabila beberapa “PR” tersebut segera dikerjakan, maka harapan Menteri UKMK agar porsi ekspor UKM mencapai 21,6% di tahun 2024, bukan lagi hanya sebuah mimpi di siang bolong.