goodmoneyID – Kita sempat terhenyak ketika AidData, sebuah Lembaga Riset di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki “utang tersembunyI” dari Cina senilai US$ 17,28 miliar atau ekuivalen Rp 247 Triliun. Angka ini setara 1,6 persen dari Produk Domestik Bruto. Riset tersebut menyoroti utang tersembunyi sejumlah negara pada periode 2000-2017 (www.bisnis.tempo.co, 06/10/2021).
Laporan AidData yang berjudul Banking on the Belt and Road menganalisis data yang mencakup 13.427 proyek di 165 negara senilai US$843 miliar. Proyek-proyek tersebut dibiayai oleh lebih dari 300 lembaga pemerintah dan badan-badan milik negara Cina, termasuk Bank Pembangunan dan Bank Ekspor Impor (Eximbank).
Definisi utang “tersembunyi” dalam riset tersebut adalah utang kepada negara berkembang yang disalurkan bukan melalui pemerintahan negara peminjam (skema G to G), namun lebih banyak dilakukan secara B to B (Business to Business). Sejak Cina mencanangkan strategi BRI (Belt and Road Initiative), hampir 70% utang luar negeri Cina saat ini diberikan oleh Lembaga Pemerintah dan badan milik Pemerintah Cina ke perusahaan milik negara, bank milik negara, special mission vehicles, usaha patungan (Joint Venture), dan lembaga sektor swasta di negara penerima pinjaman.
Salah satu lembaga milik pemerintah Cina yang sangat agresif memberikan pinjaman ke luar negeri adalah CDB (China Development Bank) yang telah memberikan pinjaman kepada BUMN dan perushaan di berbagai negara seperti Ethiopia, Gana, Bolivia, Venezuela, Ekuador dll hingga total penyaluran pinjaman CBD 2021, baik pinjaman di dalam negeri maupun di luar negeri mencapai US$ 876 miliar, jauh melebihi pinjaman yang telah diberikan oleh Bank Dunia yang hanya US$ 327 miliar. (Henry Sanderson dkk, China’s Superbank Debt, 2013).
Pinjaman CBD tersebut diberikan terutama untuk membangun infrastruktur seperti kereta api cepat, pelabuhan udara, jalan tol, kawasan industri, pelabuhan laut, telekomunikasi, pembangkit tenaga listrik, dan lain-lain yang sangat membutuhkan mesin dan peralatan yang harus diimpor dari Cina.
Peran Export Credit Agency
Kiprah seperti yang dilakukan oleh CBD dan berbagai lembaga pembiayaan lain di negara maju untuk memberikan pinjaman kepada peminjam di luar negeri sudah menjadi pola standar bagi negara maju untuk mendukung ekspor barang industri (manufaktur) mereka.
Di Amerika Serikat, sejak tahun 1934 telah didirikan Export Credit Agency (ECA) dengan nama The Export-Import Bank (Eximbank) yang merupakan lembaga independen milik pemerintah untuk mendorong dan memfasilitasi perdagangan luar negeri AS. Tujuan didirikan Eximbank adalah untuk mengambil risiko yang tidak dapat dilakukan oleh bank komersial, seperti pinjaman kepada debitor yang berlokasi di luar negeri, ekspansi perusahaan lokal ke negara lain, dan risiko jangka waktu pinjaman yang mungkin tidak dapat diambil oleh bank komersial ( David K. Eiteman dkk, 1998).
Karena ECA merupakan komplemen terhadap eksistensi bank komersial yang telah memberikan kredit ekspor, maka fasilitas yang diberikan ECA adalah sebagai fasilitas pelengkap untuk menunjang transaksi ekspor seperti asuransi ekspor (menjamin risiko komersial dan risiko politik), penjaminan kredit ekspor, dan pembiayaan ke luar negeri. ECA diharapkan mampu mengisi kekosongan instrumen yang diperlukan perbankan dan juga para eksporter yang tidak dapat disediakan oleh bank komersial (fiil the market gap).
Saat ini, hampir seluruh negara memiliki ECA dengan berbagai nama lembaga dan fasilitas yang ditawarkan, seperti di Export Import Bank of Thailand, Vietnam Export Import Commercial Joint Stock Bank dan sebagainya, Namun demikian, semua ECA terkait dengan peran mereka untuk meningkatkan ekspor melalui perdagangan luar negeri. Di Indonesia telah dibentuk melalui Undang Undang No 2 Tahun 2009, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau lebih dikenal sebagai Indonesia Eximbank yang memiliki fungsi sebagaimana ECA di negara lain.
Kondisi Ekspor Indonesia
Sampai akhir September 2021, sejumlah 199 negara telah melonggarkan kebijakan penguncian wilayah (lock down), hanya 60 negara yang masih memberlakukan kebijakan ketat. Ke 60 Negara yang masih menerapkan kebijakan penguncian wilayah tersebut memiliki eksposur ekspor terhadap Indoensia sebesar 56,58%. Negara tujuan ekspor utama Indonesia antara lain USA, Filipina, India, Tiongkok, Jepang, Malaysia, Vietnam, Uni Eropa, dan Thailand, memiliki tren kasus positif COVID-19 melandai, namun Korea Selatan dan Singapura masih menghadapi gelombang lonjakan kasus yang cukup signifikan sehingga masih relatif tertutup.
Ekspor Indonesia sepanjang Januari sampai dengan Agustus 2021 sebesar USD 142 miliar, meningkat 37,70% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2020. Kenaikan ekspor tersebut terutama ditopang oleh komoditas non migas yang meningkat sebsar 51,78% menjadi USD 134 miliar. Hal yang menggembirakan dari angka ekspor non migas tersebut adalah bahwa sektor industri pengolahan (manufaktur) meningkat paling tinggi sebesar 34,12%, menjadi USD 111 miliar.
Namun demikian, komposisi ekspor industri pengolahan ternyata masih didominasi oleh tiga produk utama yaitu, Lemak dan minyak hewani/nabati termasuk minyak sawit sebesar 20%, Bahan Bakar Mineral termasuk Batu Bara sebesar 14%, Besi dan Baja 9%.
Kinerja ekspor ketiga produk utama adalah sebagai berikut. Nilai ekspor minyak sawit terus melonjak selama periode Januari-Juli 2021 akibat menguatnya harga CPO global serta tingginya permintaan, khususnya dari negara tujuan ekspor utama yaitu Tiongkok. Di semester dua tahun 2021, ekspor Minyak Sawit diproyeksikan masih tumbuh positif namun tidak akan setinggi Semester I-2021. Faktor penyebab tingginya ekspor minyak sawit ini antra lain (i) realisasi pada paruh pertama tumbuh cukup tinggi, (ii) harga masih berada di level yang tinggi, (iii) menguatnya permintaan dari Tiongkok serta (iv) permintaan dari India yang diprediksi dapat segera pulih akibat adanya kebijakan penurunan tarif impor CPO.
Sementara ekspor Batubara Indonesia sepanjang periode Januari-Juli 2021 terus mengalami peningkatan ditopang masih tingginya permintaan di tengah adanya krisis energi di sejumlah negara dan kenaikan harga Batubara yang sempat menyentuh level di atas USD200-an per MT atau all-time high. Di semester II-2021 ekspor Batubara diproyeksikan tetap solid yang dipicu oleh permintaan yang meningkat khususnya dari Tiongkok guna memenuhi kebutuhan listrik domestik yang tinggi di tengah adanya krisis energi dan harga Batubara global yang masih di level tinggi. Harga gas alam yang semakin tinggi juga dapat menaikkan permintaan batubara yang harganya relatif lebih murah.
Sedangkan, ekspor Feronikel di semester II 2021 diperkirakan tetap tumbuh positif namun melambat akibat rencana Tiongkok untuk menaikkan tarif kelompok Besi & Baja sebesar 10-25% untuk menahan laju inflasi di negara tersebut serta mulai melambatnya produksi Feronikel di dalam negeri dan adanya pembatasan sektor properti di Tiongkok. Ekspor Feronikel pada tahun 2021 diproyeksikan masih tumbuh positif karena pertumbuhan di Semester I-2021 yang cukup tinggi.
Dengan melihat prospek ketiga produk non migas unggulan ekspor di atas, menjadi sebuah keniscahyaan apabila mayoritas lembaga pembiayaan, baik perbankan maupun non perbankan, berbondong-bondong untuk memberikan fasilitas pembiayaan kepada perusahaan yang berada di sektor unggulan ekspor tersebut. Selain pasarnya luas, harga yang membaik, juga volume produksi masih dapat ditingkatkan untuk mengejar permintaan ekspor.
Yang perlu menjadi perhatian lebih intensif dari semua pihak justru ekspor komoditas non migas yang porsinya masih relatif kecil seperti karet alam, ban mobil, perikanan, olahan ikan dan udang, TPT (tekstil dan produk tekstil), garment, alas kaki, produk kimia, kendaraan bermotor, serta furniture dan kayu. Selain itu, perlu juga dijajaki peluang negara tujuan eskpor baru yang tidak hanya mengandalkan kepada negara yang telah lama menjalin hubungan dagang dengan Indonesia (traditional market).
Peluang Pembiayaan Ekspor dan Peran ECA
Total kredit perbankan di bulan Juli 2020 tercatat sebesar Rp 5.536 triliun, meningkat sebesar 0,48 persen, menjadi Rp 5.563 triliun di Juli 2021. Sedangkan porsi kredit ekspor terhadap total kredit per juli 2020 sebesar 2,63 persen atau senilai Rp. 146 triliun, meningkat porsinya menjadi 3,27 persen atau Rp 182 triliun untuk periode yang sama.
Jika nilai kredit ekspor 2021 sebesar Rp 146 triliun dibandingkan dengan nilai ekspor 2021 yang senilai USD 143 miliar atau ekuivalen Rp 2.073 triliun, maka porsi kredit ekspor yang diberikan perbankan hanya sebesar tujuh persen dari nilai ekspor. Norma umum yang menjadi rule of thumb di perbankan, biasanya nilai kredit sekitar 30% dari total penjualan. Dengan demikian, mestinya jumlah kredit perbankan untuk ekspor paling tidak mencapai Rp 621 triliun.
Dari angka ini terlihat bahwa 93% eksporter kita masih dibiayai dengan kredit komersial biasa yang suku bunganya kurang kompetitif dibandingkan dengan suku bunga di negara pesaing.
Tanpa mengurangi peran aktif bank komersial yang telah menopang pembiayaan eskpor selama ini, sudah saatnya bank komersial dan para eksporter memanfaat kekhususan ECA yang ada di Indonesia yaitu Indonesia Eximbank atau LPEI.
Bagi bank komersial, peluang untuk mendapatkan penjaminan kredit ekspor guna memitigasi risiko kredit yang selama ini dihindari mulai dapat dilakukan. Sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) no 98/2020 dan No 32/2021, LPEI diberikan suntikan PMN (Penanaman Modal Negara) sebesar Rp 5 triliun untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN), melalui pemberian penjaminan kredit pemerintah kepada pinjaman korporasi yang berorientasi ekspor (program Jaminah). Selain itu, Pemerintah juga memberikan dana senilai Rp 6,2 triliun guna pemberian pinjaman berbunga lunak dalam rangka penugasan khusus ekspor (PKE).
Bagi eksporter, pemberian jaminan pemerintah (Jaminah) untuk kredit ekspor oleh LPEI akan lebih memudahkan mereka untuk mengajukan pinjaman ke banknya masing-masing karena sebagian risiko kredit telah dijamin LPEI. Bahkan untuk melakukan peran sebagai ECA, LPEI telah diberikan dana oleh pemerintah untuk membantu pembiayaan ekspor untuk Kawasan Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah dalam rangka membuka pasar non tradisional yang dianggap lebih berisiko.
Sebagaimana halnya dengan Export Import Bank of Thailand yang memiliki pembiayaan khusus bagi restoran Thailand yang akan membuka outlet di luar negeri, pemerintah Indonesia juga telah memberikan dana kepada LPEI senilai Rp 500 miliar untuk membantu UKM yang akan melakukan ekspor produk barang dan jasanya ke luar negeri.
Dengan kombinasi berbagai fasilitas yang diberikan oleh LPEI selaku ECA, yaitu pembiayaan eskpor, penjaminan kredit ekspor, asuransi ekspor, dan jasa konsultasi untuk UKM, maka saat ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan sinergi perbankan nasional dan eksporter dengan memanfaatkan peran LPEI.
Oleh: Djoko Retnadi, Advisor untuk Direktur Eksekutif Indonesia Exim Bank