67% Masyarakat Indonesia Anggap Biaya Pendidikan Online Sangat Berat

Loading

goodmoneyID – Mayoritas warga di Indonesia menganggap biaya sekolah/kuliah online terasa berat. Hal ini didasari survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).

SMRC mencatat, 67% masyarakat merasa sangat berat membiayai sekolah/kuliah online dan sekitar 26% menyatakan sedikit berat. Sementara hanya 6% menganggap tidak berat dalam membiayai kuliah/sekolah secara online.

Manajer Kebijakan Publik SMRC, Tati Wardi mengatakan temuan ini penting diperhatikan oleh pemerintah. Karena kondisi ini berpotensi mengganggu pencapaian yang diharapkan pemerintah melalui penerapan kegiatan pembelajaran jarak jauh.

“Pembelajaran secara daring ini tentu harus diterapkan pemerintah,” ujar Tati, kepada goodmoneyID lewat rilis, Selasa (18/8).

Namun, Pemerintah perlu memperhatikan secara serius beban yang dihadapi masyarakat, terutama bila kebijakan ini masih akan terus dilanjutkan.

Menurut Tati, warga yang memiliki anggota keluarga masih sekolah atau kuliah, dan warga yang menyatakan masih sekolah/kuliah inilah yang terkena beban dari belajar secara daring.

Survei SMRC juga menunjukkan, anggapan bahwa biaya pendidikan online sangat/cukup berat ini berkorelasi dengan tingkat pendidikan dan pendapatan.

Bila dilihat dari pendapatan, semakin tinggi pendapatan seseorang semakin rendah kecenderungannya untuk menyatakan sangat/cukup berat membiayai pendidikan online.

Terdapat 80% warga berpendapatan maksimal Rp1 juta/bulan yang menyatakan sangat/cukup berat membiayai pendidikan online. Sementara 73% warga berpendapatan Rp1-2 juta/bulan, 62% berpendapatan Rp2-4 juta, dan 50% berpendapatan lebih dari Rp4 juta/bulan beranggapan demikian.

“Jadi terlihat sekali bahwa pendidikan jarak jauh ini membawa dampak serius terutama pada kalangan status sosial ekonomi lebih rendah,” kata Tati.

Tati menunjukkan bahwa kecenderungan dampak berdasarkan latar belakang kelas sosial ekonomi ini juga terlihat dalam hal pekerjaan. Sekitar 49% pedagang besar/wiraswasta dan 55% pegawai/guru/dosen/profesional yang menganggap sangat/cukup berat membiaya pendidikan online.

Di sisi lain, 67% petani/peternak/nelayan, 75% buruh/pembantu/satpam/sopir, 72% pedagang warung/kaki lima, 74% pengangguran, dan 71% ibu rumah tangga yang menganggap sangat/cukup berat membiayai pendidikan online.

Tati berpandangan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh adalah akses internet. Survei ini menunjukkan masih cukup banyak warga yang tidak memiliki akses internet. Yang memiliki akses internet sekitar 76%, dan yang tidak memiliki akses internet 24%.

Survei SMRC juga menunjukkan di antara warga yang memiliki anggota keluarga bersekolah/kuliah online, 47% diantaranya mengeluarkan biaya internet lebih dari Rp100 ribu per bulan. Sedangkan 52% mengeluarkan biaya internet maksimal Rp100 ribu per bulan.

“Dari temuan ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kebijakan belajar jarak jauh masih jauh dari ideal,” ujar Tati.

Namun menyadari pandemi Covid-19 datang secara cepat dan tak terduga, rasanya tidak adil juga untuk menyalahkan pemerintah karena tidak mengantisipasi masalah-masalah terkait belajar daring ini.

“Temuan ini menunjukkan adanya masalah krusial tentang hak pendidikan warga dan kaitannya dengan status sosial ekonomi. Mereka yang berpendapatan lebih besar memang tidak menganggap biaya sekolah online ini sebagai beban berat, namun hal sebaliknya berlaku di kalangan mereka yang berpendidikan lebih kecil. Pemerintah perlu merespons adanya kesenjangan ini,” tutup Tati.