goodmoneyID – Direktur Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono mengungkapkan bahwa angka cerai gugat di keluarga muslim Indonesia meningkat dari 73,7 persen pada 2018 menjadi 75,3 persen pada 2021. Dengan kata lain, 3 dari 4 perceraian terjadi karena gugatan istri.
Dalam UU Perkawinan, putusnya pernikahan dapat terjadi karena talak dari pihak suami (cerai talak) atau gugatan perceraian yang diajukan pihak istri (cerai gugat).
“Provinsi dengan prevalensi (jumlah) cerai gugat yang tinggi antara lain Sumatera Utara, Lampung dan Kalimantan Selatan. Sedangkan provinsi dengan prevalensi (jumlah) cerai gugat yang rendah antara lain Maluku Utara dan Jawa Timur,” ungkap Yusuf Wibisono dalam keterangan tertulisnya, Kamis (21/04/2022).
Dia menambahkan bahwa tinggi dan menguatnya cerai gugat di keluarga muslim mengindikasikan perceraian yang dianggap semakin normal, stigma terhadap status perempuan bercerai yang semakin rendah dan independensi ekonomi perempuan yang semakin tinggi.
“Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab perceraian di keluarga muslim Indonesia, yang sangat dominan adalah antara suami-istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus. Faktor perselisihan ini meningkat drastis di masa pandemi, dari 46,6 persen pada 2018 menjadi 62,4 persen pada 2021,” kata Yusuf.
Faktor penyebab perceraian yang dominan kedua adalah terjadi ketidakharmonisan dalam rumah tangga karena masalah ekonomi seperti suami tidak bekerja, suami tidak memberi nafkah kepada istri, dan istri berpenghasilan lebih besar dari suami.
“Secara menarik, faktor ekonomi ini tidak banyak berbeda antara sebelum yaitu 28,2 persen pada 2018 dan saat pandemi 25,3 persen pada 2021,” tutur Yusuf.
Faktor penyebab perceraian yang ketiga adalah salah satu pihak dengan sadar dan sengaja meninggalkan pihak lain setidaknya selama dua tahun berturut-turut dan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sebesar 9,5 persen ditahun 2021.
“Sedangkan faktor penyebab perceraian yang minor adalah pasangan berbuat zina, pasangan menjadi pemabuk, pencandu obat terlarang atau penjudi yang sulit disembuhkan, pasangan berpindah agama, pasangan dihukum penjara, pasangan melakukan poligami, pasangan menderita cacat badan atau penyakit sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya, dan tidak saling mencintai karena kawin paksa,” papar Yusuf.
Secara menarik, faktor penyebab perceraian memiliki pola spasial. Penyebab perrceraian di Sumatera sangat didominasi oleh faktor perselisihan dengan faktor ekonomi sangat minor, seperti Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
“Namun di Jawa, faktor perselisihan dan faktor ekonomi menjadi penyebab perceraian dalam proporsi yang relatif sama besar, seperti di Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah,” ujar Yusuf.
Sebagai kebijakan preventif, menjadi penting untuk mengevaluasi kembali kebijakan usia minimal menikah. Di Indonesia, prevalensi perempuan menjalani pernikahan dini adalah tinggi.
“Perempuan yang menikah dini menghadapi resiko kesehatan akibat kehamilan dan persalinan dini serta cenderung memiliki tingkat pendidikan lebih rendah, dan berpotensi lebih tinggi menjadi miskin,” ucap Yusuf.
Pernikahan dini banyak dipicu oleh faktor ekonomi dan kemiskinan, serta dipengaruhi pula oleh norma sosial dan budaya. UU No. 16 Tahun 2019 telah merevisi usia minimal menikah menjadi 19 tahun baik untuk perempuan maupun laki-laki, dimana UU No. 1 Tahun 1974 menetapkan usia minimal pernikahan 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki, dan masih memberi dispensasi untuk menikah lebih awal lagi.
“Namun BKKBN menetapkan kesiapan fisik dan mental untuk menikah yang ideal bagi perempuan minimal usia 21 tahun dan bagi laki-laki minimal usia 25 tahun,” tutup Yusuf.