goodmoneyID – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengumumkan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk tahun 2023 dan tahun 2024 dengan rata-rata tertimbang 10 persen. Sri Mulyani menyampaikan hal itu di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (03/11) lalu.
Menyikapi besaran kenaikan tarif CHT sebesar 10% itu, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan berpendapat bahwa kenaikan CHT itu akan semakin memberatkan pelaku usaha industri hasil tembakau (IHT) legal. Pasalnya, kenaikan tarif menjadi insentif bagi peredaran rokok ilegal yang saat ini menjadi ancaman mematikan pabrikan rokok kretek legal.
“Kenaikan tarif CHT yang eksesif dalam tiga tahun terakhir, pasar rokok legal sudah tergerus oleh rokok ilegal, malah masih ditambah kenaikan kembali sebesar 10% di tahun 2023 dan 2024,” tegas Henry Najoan, Selasa (08/11).
Henry membeberkan, salah satu pungutan langsung pemerintah berupa cukai kepada IHT, dalam 3 tahun terakhir terus naik eksesif, yaitu tahun 2020, tarif cukai naik sebesar 23,5% dan Harga Jual Eceran (HJE) naik 35%, tahun 2021 tarif cukai dan HJE naik sebesar 12,5%, dan tahun 2022 cukai dan HJE naik sebesar 12,0%, sehingga selama 3 tahun tarif CHT telah naik 48% dan HJE naik 60%.
“Di lain sisi, IHT legal sedang berjuang untuk tetap beroperasi dengan arus kas yang minim akibat pandemi, yang disambung dengan kenaikan BBM, dan ancaman resesi yang menguras daya beli masyarakat,” ujarnya.
Henry juga menyinggung tambahan beratnya pungutan langsung negara terhadap produk tembakau yang menjadi semakin berat karena kenaikan cukai.
Selama ini, kata Henry, IHT legal selain dipungut melalui CHT, juga dibebani Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebesar 10 persen dari nilai cukai dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 9,9 persen dari harga jual eceran hasil tembakau.
Jika dijumlahkan, pungutan ketiga komponen pungutan langsung tersebut berkisar di 76,3 persen sampai 83,6 persen dari setiap batang rokok yang dijual, bergantung golongan dan jenis rokok yang di produksi. Sisa 16,4% sampai 23,7 % untuk Pabrik membayar bahan baku, tenaga kerja dan overhead serta CSR.
“Artinya harga rokok ilegal sudah menang bersaing walau harganya hanya sekitar 20% atau 1/5 dari harga rokok legal. Kok masih ditambah lagi beban kenaikan tarif untuk 2023 dan 2024. Semakin berat beban IHT legal!,” tegas Henry.
Henry Najoan juga menyoroti alasan dibalik kenaikan tarif cukai yang salah satunya karena angka prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun yang berada di angka 9,1% di tahun 2018.
Klaim itu, sambung Henry Najoan, seharusnya gugur karena Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis bahwa sejak tahun 2019, prevalensi merokok anak terus menurun. 3,87 persen pada 2019, turun menjadi 3,81 persen pada 2020 dan turun menjadi 3,15 persen di tahun 2021.
“Seharusnya, dengan turunnya prevalensi merokok anak, tak membuat tarif cukai rokok terus dinaikkan apalagi dalam situasi seperti ini,” ujar Henry Najoan.