Kerugian Negara dari Peredaran Rokok Ilegal Mencapai Rp53,18 triliun

Loading

goodmoneyID – Kajian lembaga survei Indodata yang menyebutkan pada tahun 2021 lalu, rokok ilegal telah mencapai 26,38%. Jika angka tersebut dikonversikan dengan pendapatan negara, maka potensi cukai yang hilang bisa mencapai Rp53,18 triliun.

Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan mengatakan angka Rp53,18 triliun itu keluar berdasarkan estimasi rentang peredaran rokok ilegal itu ada 127,53 miliar batang dan temuan hasil survei ini tidak jauh berbeda dengan perhitungan gap antara CK-1 dan Susenas yang sebesar 26,38 persen.

“Faktor maraknya peredaran rokok ilegal adalah karena kenaikan tarif cukai yang tinggi di tahun 2020 dan tahun 2021,” terang Henry Najoan Selasa (08/11).

Pasalnya, kenaikan tarif menjadi insentif bagi peredaran rokok ilegal yang saat ini menjadi ancaman mematikan pabrikan rokok kretek legal.

“Kenaikan tarif CHT yang eksesif dalam tiga tahun terakhir, pasar rokok legal sudah tergerus oleh rokok ilegal, malah masih ditambah kenaikan kembali sebesar 10% di tahun 2023 dan 2024,” tegas Henry Najoan.

Henry membeberkan, salah satu pungutan langsung pemerintah berupa cukai kepada IHT, dalam 3 tahun terakhir terus naik eksesif, yaitu tahun 2020, tarif cukai naik sebesar 23,5% dan Harga Jual Eceran (HJE) naik 35%, tahun 2021 tarif cukai dan HJE naik sebesar 12,5%, dan tahun 2022 cukai dan HJE naik sebesar 12,0%, sehingga selama 3 tahun tarif CHT telah naik 48% dan HJE naik 60%.

“Di lain sisi, IHT legal sedang berjuang untuk tetap beroperasi  dengan arus kas yang minim akibat pandemi, yang disambung dengan kenaikan BBM, dan ancaman resesi yang menguras daya beli masyarakat,” ujarnya.

Henry juga menyinggung tambahan beratnya pungutan langsung negara terhadap produk tembakau yang menjadi semakin berat karena kenaikan cukai.

Selama ini, kata Henry, IHT legal selain dipungut melalui CHT, juga dibebani Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebesar 10 persen dari nilai cukai dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 9,9 persen dari harga jual eceran hasil tembakau.

Jika dijumlahkan, pungutan ketiga komponen pungutan langsung tersebut berkisar di 76,3 persen sampai 83,6 persen dari setiap batang rokok yang dijual, bergantung golongan dan jenis rokok yang di produksi. Sisa 16,4% sampai 23,7 % untuk Pabrik membayar bahan baku, tenaga kerja dan overhead serta CSR.

“Artinya harga rokok ilegal sudah menang bersaing walau harganya hanya sekitar 20%  atau 1/5 dari harga rokok legal. Kok masih ditambah lagi beban kenaikan tarif untuk 2023 dan 2024. Semakin berat beban IHT legal!,” tutup Henry.