goodmoneyID – Krisis yang memiliki dampak terhadap hampir seluruh aspek kehidupan akibat munculnya virus Covid-19 telah berlangsung selama setengah tahun. Sejak dimulainya krisis, tanda-tanda pemulihan yang berkelanjutan merupakan hal yang langka disaksikan dan kemungkinan kondisi ini akan terus berlanjut hingga ditemukannya vaksin atau hingga pemerintah meningkatkan usaha penanganan kesehatannya secara signifikan.
Walaupun kontraksi perekonomian terburuk bisa jadi sudah dilewati, tidak ada jaminan bahwa pemulihan ekonomi akan terjadi dalam waktu dekat atau bahkan kondisi yang lebih buruk tidak akan terjadi kedepannya. Untuk saat ini, kondisi Indonesia tidak jauh berbeda dengan banyak negara lainnya yang seperti terjebak dalam kondisi “limbo”, menunggu untuk perbaikan sisi kesehatan yang lebih konkrit dan berupaya sebisa mungkin untuk meminimalisasi dampak negatif ekonomi dan kemungkinan terjadinya second wave.
Selain itu, beberapa isu lain seperti usaha pelemahan independensi Bank Indonesia dan protes serta penolakan terhadap disahkannya Omnibus Law Ketenagakerjaan, makin memperkeruh suasana dan mempersulit proses pemulihan. Dengan demikian, ketidakpastiaan dapat dianggap merupakan kondisi “new normal” dan kemungkinan akan terus berlanjut untuk beberapa bulan ke depan, atau bahkan lebih lama. Di sisi lain, adanya tendensi untuk meningkatkan tabungan oleh kelompok masyarakat menengah ke atas juga menahan permintaan agregat.
Ekonom LPEM FEB UI, Teuku Riefky menilai Pelonggaran kebijakan moneter saat ini tidak akan terlalu mendorong bertumbuhnya aktivitas ekonomi dan justru akan menambah risiko peningkatan tekanan terhadap depresiasi nilai tukar Rupiah dan arus modal keluar.
“Ketidakpastian terus meningkat, baik di sisi domestik maupun global. Disaat masyarakat masih belum yakin pemerintah sudah melakukan upaya penanganan krisis kesehatan secara baik, munculnya isu-isu lain seperti penolakan terhadap Omnibus Law Ketenagakerjaan dan implementasi yang buruk dari penerapan kembali pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jakarta makin memperkeruh ketidakpastian,” ujar Riefky dalam laporannya, Senin (12/10).
Imbasnya, Kata Rifky nilai tukar Rupiah kembali bergejolak sejak pertengahan September. Lebih lanjut, tidak adanya tanda-tanda pemulihan dalam waktu dekat, yang meredam permintaan agregat seiring kelompok masyarakat menengah keatas menahan pengeluaran dan dunia usaha menahan kapasitas produksi di level minimum.
Lebih lanjut, keputusan dunia usaha yang menahan kapasitas produksinya ke tingkat minimum juga menghambat laju pertumbuhan kredit.
“Oleh karena itu, kami memandang BI perlu mempertahankan suku bunga acuan di level 4,00% bulan ini, sembari mempertahankan kebijakan makroprudensial untuk mengelola stabilitas di sektor keuangan,” pungkas Riefky.