Ekonom INDEF: Perbankan Perlu Konsolidasi  Atau Mati

Loading

goodmoneyID –  Ekonomi digital telah berdampak pada seluruh industri termasuk perbankan. Kehadiran perusahaan financial technology (fintech)  baik lending maupun dompet digital menghadirkan persaingan yang semakin tajam di industri jasa keuangan.

Agus Herta Sumarto, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), mengatakan fintech merupakan salah satu penyebab merosotnya kinerja perbankan sepanjang 2019. “Kinerja industri perbankan tertekan sepanjang tahun lalu,” ujar Agus Herta dalam Press Conference INDEF di Jakarta.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Oktober 2019, pertumbuhan kredit sebesar 6,43% (year on year/YoY) dan dana pihak ketiga (DPK) hanya tumbuh 6,29% YoY. Padahal pada periode sama 2018, pertumbuhan kredit 13,09% YoY dan DPK 6,45% YoY.

Rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio/LDR) di atas 94%, tertinggi sejak 2002 (kecuali pada 2018 mencapai 95,16%). Tingginya LDR tersebut, tidak diikuti dengan pertumbuhan DPK sehingga industri terperangkap likuiditas.

Agus menambahkan, redupnya kinerja perbankan berbanding terbalik dengan kinerja fintech. Dari sumber data yang sama, sampai November 2019, pertumbuhan penyaluran dana di fintech lending sebesar 186,67% dengan niali Rp74,54 triliun. Begitu pula dengan fintech dompet digital (e-wallet) yang transaksinya sebesar USD1,5 miliar atau sekitar Rp21 triliun. Jumlah transaksi e-wallet diperkirakan akan terus menanjak mencapai Rp355 triliun pada 2023.

“Melihat fenomena tersebut , konsolidasi perbankan sudah sangat mendesak. Terbitnya aturan POJK 41/POJK.03/2019 merupakan antisipasi untuk meningkatkan daya saing industrii ke depan,” pungkasnya.

Sekadar informasi, POJK 41/POJK.03/2019 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Integrasi dan Konversi Bank Umum. OJK juga akan menerbitkan aturan modal inti bank umum minimal sebesar Rp3 triliun. Rencananya aturan tersebut akan diberlakukan secara bertahap mulai tahun ini sampai 2022.