goodmoneyID – Februari 2020, Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) melakukan penelitian terhadap 542 pengemudi ojek online (ojol) di Jabodetabek, untuk memahami karakter dari penciptaan lapangan kerja perkotaan di sektor digital.
Peneliti IDEAS Siti Nur Rosifah menyebutkan dalam riset ini, ia menemukan fakta yang mengejutkan, bahwa 77,4 responden yakni pengemudi ojol mengaku memiliki waktu kerja yang sangat panjang, jauh melebihi batas waktu kerja yang wajar yakni bekerja lebih dari 8 jam per hari. Bahkan 28,3 persen responden mengaku bekerja lebih 12 jam per hari.
“Untuk mendapatkan penghasilan yang layak, pengemudi ojol dipaksa untuk bekerja lebih lama. Namun demikian, meski telah bekerja jauh lebih keras, hanya 40,6 persen pengemudi ojol yang diestimasikan mampu memiliki penghasilan di atas rata-rata UMP Jakarta, Banten, dan Jawa Barat 2020 yang berada di kisaran Rp 3 juta per bulan,” tutur Nur Rosifah, di Kantor IDEAS, Tangerang Selatan, (17/03).
Dengan waktu kerja yang sangat panjang dan upaya yang jauh lebih keras, pengemudi ojol tidak dilindungi dengan jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja. Mayoritas responden, yaitu 65,0 persen, mengaku tidak memiliki jaminan sosial sama sekali, baik karena tidak mendaftarkan diri ke aplikator maupun karena tidak mengetahui kebijakan aplikator.
“Kerentanan pengemudi ojol dari guncangan eksternal dikonfirmasi lebih lanjut oleh temuan bahwa hampir setengah responden, yaitu 46,1 persen, memiliki utang. Secara menarik, utang sebagian besar responden digunakan untuk membeli motor,” terang Nur Rosifah.
Berdasarkan pantauan IDEAS pengemudi ojol kini diperkirakan mencapai 2,5 juta orang, dan sebanyak 1,25 juta orang diantaranya berlokasi di Jabodetabek. Artinya bisa dikatakan, penyerapan tenaga kerja oleh ojol ini setara dengan 37 persen pengangguran Jabodetabek.
“Temuan lapangan menunjukan bahwa ojol cukup efektif bagi pengangguran kota. Sebesar 41,0 persen responden menjadikan menganggur sebagai alasan utama mereka menjadi pengemudi ojol, yakni karena pemutusan hubungan kerja, terlalu lama menganggur, dan sulit mencari pekerjaan lain selain ojek daring,” ungkap Nur Rosifah.
IDEAS menyoroti hubungan antara perusahaan penyedia layanan dengan pengemudi ojol. Transportasi daring berbekal jargon sebagai penghubung antara “mitra” ojol dengan pengguna layanan.
Pengemudi ojol diklaim memiliki otonomi dan independensi dalam menentukan jenis pekerjaan, waktu kerja, hingga jumlah pendapatan yang diinginkannya. Namun dalam kenyataannya, perusahaan transportasi daring-lah yang mengendalikan “mitra” ojolnya. Jenis dan jumlah layanan yang mereka kerjakan, kemana tempat yang harus mereka tuju, hingga jumlah pendapatan yang akan mereka terima sudah di tetapkan berdasarkan ketentuan aplikator.
“Jumlah minimum penerimaan pesanan, kombinasi tarif per kilometer yang rendah dan sistem bonus, serta adopsi sistem rating dari penumpang, telah memaksa pengemudi ojol untuk terus bekerja dengan usaha yang semakin keras untuk mendapat penghasilan yang memadai. Sistem penalti atas pembatalan order, mulai dari skorsing (suspend) hingga pemutusan sebagai mitra, memaksa pengemudi ojol untuk selalu menerima setiap order yang datang, mereka harus siap setiap saat untuk pergi bekerja,” tutup Nur Rosifah.