goodmoneyID – Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Rosan P. Roeslani menyarankan dengan bergantinya status negara Indonesia menjadi negara maju oleh Amerika Serikat (AS) melalui US Trade Representative (USTR), Pemerintah harus menguatkan lobi dan negosiasi dalam sektor dagang.
“Dengan gantinya status negara kita menjadi negara maju, keistimewaan atau relaksasi yang kita dapatkan pada saat menjadi negara berkembang kemungkinan besar bisa dihilangkan,” ujarnya ketika ditemui pasca pembahasan Omnibus Law di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Senin (24/2).
Pengusaha telah menyarankan pemerintah segera memperkuat lobi dan negosiasi dagang dan tarif secara bilateral agar keuntungan perdagangan Indonesia tetap bertahan. Lantas dari dunia usaha sendiri, sebetulnya sudah memprediksi suatu saat status negara Indonesia akan berubah menjadi negara maju.
“Dari sisi dunia usaha kita sudah mengantisipasi, sebab kita sudah tahu suatu saat Indonesia akan diakui menjadi negara maju, dimana antisipasinya adalah melalui salah satu Omnibus Law untuk meningkatkan produktivitas perdagangan kita,” lanjutnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia IV (Persero) atau Pelindo IV Farid Padang, mengatakan bahwa ada segi positif dari peningkatan status tersebut, dimana dengan penetapan ini, Indonesia kini dapat bangga karena diakui sebagai mitra dagang dengan ekonomi yang maju oleh AS.
Namun, Farid juga mengakui sebagai kompensasi dari peningkatan status ini, imbasnya tentu akan dirasakan dari segi eksportir. Pasalnya, sebagai Negara Maju, Indonesia tidak akan lagi menerima insentif pengurangan Bea Masuk yang dinikmati oleh negara berkembang dari AS.
Farid memperkirakan beban yang akan dikenakan terhadap para eksportir Indonesia ke AS bisa meningkat sekitar hingga 15%. Untuk menghadapi ini Farid mengatakan bahwa Pemerintah melalui direktorat perpajakan harus menyiapkan beberapa insentif pajak bagi para eksportir untuk menjaga tingkat ekspor Indonesia.
“Caranya dirjen pajak harus keluarkan pajak insentif untuk eksportir (yang terkena imbas dari penghapusan insentif bea masuk). Salah satunya, impor yang datang dari AS yang menghasilkan devisa bagi mereka kita melakukan itu juga (penetapan tarif bea masuk). Misalnya mereka bisa kita kenakan PDRI (pajak dalam rangka impor) juga,” pungkasnya.
Farid mengakui bahwa perubahan status yang dilakukan oleh USTR terhadap Indonesia sesungguhnya merupakan strategi perdagangan AS guna menekan biaya impor mereka. Oleh sebab itu, Farid menghimbau pemerintah untuk memanfaatkan perubahan status ini dengan memperoleh leverage dalam perundingan terkait perjanjian kerjasama ekonomi komprehensif (CEPA) dengan pasar alternatif seperti Eropa dan Afrika.
Diharapkan dengan memperoleh perjanjian perdagangan dengan pasar baru yang menawarkan insentif pengurangan bea, bahwa pasar tersebut terutama Eropa, dapat menggantikan AS sebagai mitra dagang utama Indonesia kedepannya.
Sebagai informasi, beberapa waktu lalu, Amerika Serikat melalui US Trade Representative (USTR) merevisi daftar kategori negara berkembang mereka untuk urusan perdagangan internasional. Beberapa negara yang semula ada di daftar negara berkembang seperti China, Brazil, India kini naik kelas jadi negara maju, hal ini berlaku juga untuk Indonesia dan Afrika Selatan.