goodmoneyID – Kabinet Indonesia Kerja telah usai dan kini publik bersiap menyambut kabinet baru. Dibawah nakhoda yang sama yaitu Presiden Joko Widodo, kabinet baru harus menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah.
“Banyak PR di bidang ekonomi yang belum diselesaikan oleh Jokowi. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi tetap berada di angka 5%,” kata David Sumual Kepala Ekonom BCA kepada Goodmoney.id Selasa, (22/10/2019).
Pertama, sektor industri yang memberikan pengaruh cukup besar bagi perekonomian negeri, sekarang justru turun di angka 19%. Hal ini akibat dari deindustrialisasi prematur (penurunan kontribusi sektor manufaktur alias industri pengolahan nonmigas terhadap PDB (produk domestik bruto).
Kedua, laju defisit transaksi berjalan selama lima tahun terakhir yang membesar. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti kisruh ekonomi global, turunnya permintaan harga komoditas pasar global, dan subsidi yang justru memperberat keuangan negara.
“Mengingat banyaknya ancaman dan masalah dari sumber ekternal, seperti perlambatan, dan gejolak ekonomi global, tentu para investor akan melihat posisi defisit transaksi berjalan. Pemerintah kedepan perlu memperbaiki defisit transaksi berjalan, dengan intensif melakukan program program yang tepat, seperti menggerakkan ekspor supaya lebih tinggi daripada impor,” ujar David.
Ketiga, implementasi 16 kebijakan ekonomi yang kurang berjalan mulus. Seperti diketahui paket kebijakan ekonomi tersebut antara lain kemudahan mendapatkan izin investasi, peta jalan (roadmap) mengenai perdagangan berbasis elektronik (e-commerce), daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan kepastian usaha.
Keempat, koordinasi lintas sektoral maupun pusat dan daerah yang kurang lancar. Akibatnya, mengganggu iklim investasi. Ini sejalan dengan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan, belum adanya prioritas pada kegiatan lintas sektoral, dan masih berorientasi pada pencapaian tugas-tugas sektoral saja.
Kelima, aturan birokrasi yang masih dianggap tumpang tindih oleh investor. Ini berdampak pada turunnya investasi terutama di investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI). Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi FDI pada triwulan II 2018 lalu mencapai USD 7,14 miliar dan pada triwulan II 2019 hanya US$ 6,99 miliar. Artinya, terjadi penurunan sebesar 2% secara year on year.