Kode Etik Filantropi di Era Digital Perlu di Tegakan

Loading

goodmoneyID – Selain menjanjikan peluang dan kesempatan, pemanfaatan platform digital dalam kegiatan filantropi juga memunculkan beragam tantangan dan persoalan. Masyarakat dan donatur mulai mengeluhkan dan melaporkan beragam praktik filantropi yang dinilai kurang etis.

Persoalan etika ini banyak ditemui pada tahapan kampanye dan penggalangan sumbangan secara digital. Untuk meminimalisir dan mengatasi masalah ini, organisasi dan pegiat filantropi dituntut untuk menerapkan dan menegakkan kode etik dan pedoman terkait kegiatan filantropi di era digital.

Ketua Gugus Tugas KEFI (Kode Etik Filantropi Indonesia) Tomy Hendrajati, menyatakan bahwa filantropi digital berkembang pesat di indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Pesatnya pemanfaatan platform digital dalam kegiatan filantropi juga diakselarasi oleh kondisi pandemi COVID-19 yang memaksa sebagian aktivitas berpindah ke platform digital, termasuk kegiatan filantropi.

“Era digital tidak hanya menjanjika peluang dan kesempatan bagi pengembangan kegiatan filantropi  dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, tapi juga memunculkan beragam tantangan dan persoalan, terutama persoalan terkait etika,” ujar Tomy Hendrajati, dalam acara Philanthropy Learning Forum dengan topik “Etika Filantropi di Era Digital” yang digelar di jakarta, selasa siang (9/3).

Persoalan etika dalam kegiatakn filantropi

Beberapa persoalan etika yang terjadi dalam kegiatan filantropi, diantaranya maraknya penggalangan donasi untuk kepentingan pribadi (biaya menikah atau membayar hutang), penggunaan gambar atau video yang mengeksplotasi kesedihan dan penderitaan korban, frekwensi dan intensitas kampanye dan tawaran donasi yang menimbulkan ketidaknyamanan calon donatur,  pelanggaran hak cipta dalam penggunaan gambar dan video untuk materi kampanye, ketidaksesuaian penyaluran dan pemanfaatan sumbangan, minimnya transparansi dan akuntabilitas, narasi provokasi dan ujaran kebencian dalam penggalangan donasi untuk konflik sosial, sampai cyber bullying terhadap penggalang donasi, organisasi dan penerima manfaat.

“Jika dilihat dari 4 tahapan filantropi, yakni penggalangan, pengelolaan, penyaluran dan pelaporan/pertanggungjawaban sumbangan, persoalan etika filantropi digital banyak terjadi di tahapan kampanye untuk penggalangan sumbangan” katanya.

Menurut Tomy, untuk mengatasi masalah etika ini, beberapa organisasi dan asosiasi sebenarnya sudah menerbitkan kode etik atau pedoman dalam menjalankan kegiatan filantropi atau fundraising.

Filantropi Indonesia, misalnya, menerbitkan Kode Etik Filantropi Indonesia (KEFI) sebagai pedoman perilaku pegiat filantropi dalam menjalankan kegiatan filantropi atau kedermawanan sosial. Selain KEFI, ada juga Kode Etik Amil yang diterbitkan Forum Zakat dan  Pedoman Akuntabilitas Bantuan Kemanusiaan yang diinisasi oleh Humanitarian Forum Indonesia.

“Sayangnya, Kode Etik dan Pedoman ini belum berperan optimal dalam meminimalisir dan mengatasi persoalan etika dalam kegiatan filantropi. Selain minimnya sosialisasi, lemahnya mekanisme pengawasan dan penegakan kode etik juga menjadi kendala dalam mengatasi masalah-masalah etik yang muncul di lapangan.” Katanya.

Sementara itu, Ketua Umum Forum Zakat (FOZ) Bambang Suherman, menambahkan bahwa persoalan etika juga terjadi dalam penggalangan, pengelolaan dan penyaluran filantropi keagamaan, khususnya Zakat, Infaq, sedekah (ZIS).

Hal ini bisa dimaklumi mengingat sebagian besar LAZIS (Lembaga Amil Zakat) juga memanfaatkan platform digital dalam menggalang ZIS. Amil atau pegiat LAZIS melihat perilaku donatur atau muzakki (pembayar zakat) dalam membelanjakan hartanya mengalami perubahan.

Proses dan cara transaksi dalam belanja kebutuhan konsumsi tidak jauh berbeda dengan transaksi belanja untuk kebutuhan religius mereka dalam bentuk ZIS. Seperti halnya transaksi konsumsi, proses transaksi ZIS juga berpindah dari analog atau konvensional ke digital. Hal inilah yang mendorong pemanfaatan platform digital secara masif dalam penggalangan ZIS.

Bambang menambahkan, Era digital juga membuka peluang dan kesempatan banyak pihak, mulai dari individu, komunitas sampai lembaga sosial, untuk terlibat dalam penggalangan donasi maupun ZIS. Namun, kesempatan dan peluang yang besar ini diikuti dengan pertanyaan terkait transparansi dan pertanggungjawabannya. Selain itu, muncul pula persolan-persoalan etis karena tidak tersedianya mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai regulator.

“Karena itu kita perlu memiliki suatu perangkat yang mengisi atau melengkapi kekosongan pengawasan oleh negara dalam bentuk kode etik atau pedoman terkait kegiatan filantropi atau pengelolaan ZIS.” tegas Bambang.

Menurut Bambang, Forum Zakat sudah merilis Kode Etik Amil tahun 2015 yang mengatur perilaku amil atau pegiat LAZIS yang menjadi anggotanya. Kode Etik Amil mengatur bahwa setiap amil atau pegiat LAZIS dalam menjalankan profesinya harus senantiasa menggunakan pertimbangan profesional, syariat dan moral.

Amil zakat juga dituntut untuk menjaga kepercayaan publik dengan mengedepankan kepentingan umum  dan melakukan pelayanan secara paripurna. Mereka juga diwajibkan untuk menjaga kredibilitas, serta bertindak netral, independen dan objektif sehingga bebas dari benturan kepentngan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.  Mereka juga diharuskan menerapkan prinsip kompetensi dan kehati-hatian dalam menjalankan profesi keamilannya.

“Prinsip-prinsip ini memang terlihat normatif, namun mudah untuk kita terapkan dan menjadi kontrol internal dalam meninjau dan mengevaluasi kegiatan pengelolaan ZIS”. imbuhnya.

Sementara wakil ketua Badap Pengurus FI (Filantropi Indonesia), Suzanty Sitorus, melihat urgensi dalam penerapan dan penegakan berbagai kode etik dan pedoman terkaut filantropi dalam rangka menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Menurutnya, banyak yang mengira tulang punggung atau landasan utama filantropi adalah sumbangan atau donasi.

Padahal landasan utama filantropi adalah trust atau kepercayaan masyarakat atau donatur. Dukungan atau donasi masyarakat akan datang kalau ada kepercayaan. Sementara kepercayaan akan muncul kalau sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh pegiat filantropi sesuai dengan norma dan etika yang ada di masyarakat.

Di sinilah biasanya banyak wilayah yang abu-abu dan menyulitkan pegiat filantropi dalam menentukan apakah perilaku dan tindakannya pantas dan etis.

“Filantropi sangat bergantung pada kepercayaan diantara para pelakunya dan kepercayaan itu harus didukung pemahaman yang sama mengenai apa yang pantas dan tidak pantas. Kita perlu memikirkan soal etika ini dan kemudian mengaturnya dalam sebuah kode etik. Kode etik ini perlu diterapkan dan ditegakkan agar tatanan filantropi tidak tergerus oleh ketidakpercayaan publik yang membuatnya tidak efektif dan berkembang. Kode etik juga diperlukan untuk mengatur diri sendiri (self regulation) agar tidak semua urusan terkait filantropi diatur oleh negara yang justru akan membatasi dan mengekang perkembangan sektor filantropi” pungkas Suzanty.