Optimalkan Paket Stimulus Covid-19, Ini 5 Rekomendasi CORE Indonesia

Loading

goodmoneyID – CORE Indonesia mengapresiasi Pemerintah Indonesia yang telah mengambil langkah-langkah untuk menghambat penyebaran pandemi dan juga mengambil kebijakan-kebijakan untuk membantu ekonomi masyarakat yang terdampak, memberikan insentif dunia usaha, serta meningkatkan stimulus terhadap ekonomi makro.

Ekonom CORE Indonesia Muhammad Ishak Razak menyebutkan, di saat konsumsi swasta, investasi, dan ekspor anjlok, belanja pemerintah saat ini menjadi faktor utama yang dapat mendorong pergerakan ekonomi riil.

“Semakin besar intervensi pemerintah, maka tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19 dapat diminimalkan,” terang Ishak, dalam rilis tertulis CORE Indonesia, Kamis (16/4)

Saat ini Pemerintah telah merencanakan beberapa program bantuan sosial diantaranya yakni Bantuan Sosial Khusus untuk penduduk Jabodetabek masing-masing Rp600 ribu selama tiga bulan untuk 1,2 juta KK di DKI Jakarta dan 576 KK di Depok, Tangerang, dan Bekasi. Menambah jumlah penerima Program Keluarga Harapan (PKH) sebanyak 800 ribu KK menjadi 10 juta KK. Menambah jumlah penerima Kartu Sembako dari 15,6 juta KK menjadi 20 juta KK, dengan nilai bantuan naik dari Rp150 ribu menjadi Rp200 ribu. Menambah alokasi untuk Kartu Pra Kerja dari Rp10 triliun menjadi Rp20 triliun yang mencakup 5,6 juta orang. Dan menggratiskan tarif listrik untuk pelanggan 450 VA dan diskon 50% untuk 900 VA.

Sementara, Ekonom CORE Indonesia Akhmad Akbar Susamto mengatakan setidaknya ada lima hal yang wajib diperhatikan agar kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut memberikan dampak optimal.

Pertama, mempercepat distribusi bantuan sosial dan secara simultan melengkapi data penerima dengan memadukan data pemerintah dan data masyarakat. Idealnya intervensi pemerintah setidaknya harus tepat sasaran, tepat waktu, tepat jumlah, dan tepat bentuknya. Artinya, intervensi tersebut membutuhkan data yang akurat. Tapi dalam kondisi saat ini Pemerintah tidak dapat menunda terlalu lama distribusi bantuan sosial dengan alasan data yang kurang lengkap.

Kedua, mengintegrasikan data pengangguran dan penerima bantuan sosial yang selama ini dimiliki dari berbagai lembaga pemerintah dan non-pemerintah. Mulai dari Kementerian Sosial, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, lembaga administrasi pemerintah hingga tingkat desa/kelurahan, hingga lembaga masyarakat khususnya RT dan RW termasuk asosiasi-asosiasi tenaga kerja.

Pemerintah, misalnya dapat memanfaatkan data Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang dimiliki BPJS Kesehatan sebanyak 96,8 juta penerima yang sebagian datanya telah memiliki nama dan alamat. Meskipun demikian, pemerintah harus membuka peluang upgrading data berdasarkan informasi dari lembaga pemerintah dan masyarakat di tingkat bawah.

Ketiga, menyesuaikan skema bantuan Kartu Pra-Kerja dengan memprioritaskan pengangguran yang tidak mampu, khususnya yang terkena dampak Covid-19, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

“Paket pelatihan senilai satu juta rupiah yang mengalir kepada penyelenggara pelatihan yang satu paket dengan insentif pelatihan dan biaya survei masing-masing Rp600 ribu dan Rp150 ribu, perlu ditinjau ulang pada masa pandemi ini,” jelas Akbar.

Peningkatan jumlah pengangguran saat ini terjadi akibat turunnya permintaan tenaga kerja karena perlambatan ekonomi (demand shock), dan bukan akibat persoalan kualitas supply tenaga kerja sehingga membutuhkan peningkatan skill.

Keempat, mendorong kepada dunia usaha melalui pemberian insentif agar mengoptimalkan alternatif-alternatif untuk mempertahankan tenaga kerja mereka dibandingkan dengan PHK. Beberapa alternatif tersebut di antaranya pengurangan jam kerja dan hari kerja, pengurangan shift dan lembur, hingga pemotongan gaji, dan penundaan pembayaran tunjangan dan insentif.

Kepada dunia usaha yang bersedia melakukan hal tersebut, pemerintah perlu memberikan insentif yang lebih besar, seperti penurunan tarif listrik untuk bisnis dan industri, penurunan tarif gas industri, pemberian diskon tarif pajak, dan penundaan pembayaran cicilan pajak. Dalam menerapkan solusi ini, pemerintah harus melibatkan pihak pengusaha dan serikat buruh sehingga solusi yang diambil dapat diterima kedua belah pihak.

Kelima, mengoptimalkan bantuan sosial yang berdampak lebih besar terhadap ekonomi masyarakat. Selain memberikan bantuan dalam bentuk barang (in-kind) yang terkena Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Idealnya bantuan-bantuan sosial yang diberikan pemerintah di luar PSBB adalah dalam bentuk uang yang penyalurannya lebih efisien dibandingkan dengan in-kind.

Bantuan dalam bentuk uang dapat disalurkan melalui lembaga keuangan bank dan non-bank, atau lembaga-lembaga yang dapat memfasilitasi transaksi keuangan seperti PT Pos dan sebagainya.

“Dibandingkan barang, transfer dalam bentuk uang tersebut memberikan pilihan yang lebih besar kepada penerima sesuai dengan kebutuhan mereka, dan memberikan dampak multiplier yang lebih besar dalam menggerakkan ekonomi masyarakat,” tutup Akbar.