goodmoneyID – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangi PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. Prinsip utama Tapera adalah gotong royong, dalam rangka kehadiran negara dalam mensejahterakan rakyatnya, khususnya bidang perumahan.
Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch menilai dengan keluarnya PP tersebut, pemerintah belum sepenuhnya mendengarkan kritik yang selama ini disampaikan para pengusaha atau pun dari pengamat. Hampir tidak ada perubahan dari awal terbentuknya Tapera.
Lebih lanjut, Ali menyampaikan adanya lembaga baru ini dikhawatirkan akan menjadi beban baru setelah banyaknya lembaga pembiayaan perumahan yang saat ini tersebar.
“Tapera berpotensi untuk menambah beban pengusaha disamping sudah banyaknya iuran, seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan lainnya. Meskipun aturan iuran 2,5% untuk pekerja, dan 0,5% untuk pengusaha, namun pada kenyataannya banyak juga pekerja yang menolak sehingga beban keseluruhan menjadi beban pengusaha,” kata Ali, dalam keterangan resminya pada wartawan, Kamis (04/6).
Selain itu, dari sisi kelembagaan, harusnya Pemerintah bisa menggunakan lembaga yang sudah ada dengan sistem satu iuran untuk kemudian dibagi-bagi untuk iuran kesehatan, pendidikan, pensiun, dan perumahan, sehingga pengusaha pun tidak dibebani oleh beberapa iuran yang berbeda juga dalam hal administrasinya satu dengan yang lain.
“Tapera seharusnya lebih sebagai nirlaba dan tidak diperlukan manager investasi dalam pengelolaan dananya. Biaya yang dikeluarkan untuk manager investasi, biaya karyawan, biaya operasional dan lain-lain membuat beban biaya tinggi, yang akan membebani pemerintah atau nantinya lebih berorientasi komersia,” tambah Ali.
Penunjukkan manager investasi sebagai pengelola dana Tapera selain biaya yang ada juga mempunyai risiko kerugian. Bila hasil kelola merugi maka berdasarkan UU Pasar Modal, manager investasi tidak bisa disalahkan karena kerugian investasi.
“Sangat ironis karena dana Tapera merupakan pertanggungjawaban terhadap uang rakyat,” ujarnya.
Pengawasan yang dilakukan seharusnya melibatkan wakil dari peserta Tapera dalam hal ini masyarakat, professional, dan para pengusaha karena dana Tapera merupakan dana masyarakat.
Perihal sebagian modal dana Tapera akan dialirkan dari Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan potensi dana Rp30 triliun, merupakan bentuk ketidakpahaman Pemerintah mengenai konsep yang berbeda antara Tapera dan FLPP Sehingga tidak dapat secara langsung menjadi disamakan dengan Tapera. FLPP sendiri bersumber dari APBN yang berbeda dengan Tapera yang berasal dari masyarakat.
Tapera dinilai tidak terlalu bermanfaat bagi yang sudah memiliki rumah. Karena dana hanya digunakan untuk membantu golongan MBR memeroleh rumah, sedangkan golongan menengah pun mempunyai hak juga untuk mempunyai rumah.
Ali kekhawatir, nantinya bakal banyak celah yang dapat dimasuki untuk kepentingan pihak tertentu, karena dana Tapera yang terkumpul dapat mencapai Rp50 triliun setahun.
“Dana ini dengan kelolaan manager investasi dapat bertendensi ke arah komersial dengan bancakan pihak-pihak tertentu. Karenanya Indonesia Property Watch meminta secara khusus kepada pemerintah untuk menyikapi secara kritis penyelenggaraan Tapera ini dari sisi pengawasan dan implementasinya di lapangan sekaligus warning kepada BP Tapera untuk dapat memberikan pelaksanaan dan pengelolaan dana yang jujur dan transparan,” pungkas Ali.