Reformasi Struktural, Menuju Indonesia Maju

Loading

goodmoneyID – Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Kebijakan Fiskal dan Makro Ekonomi, Masyita Crystallin menjelaskan pandemi Covid-19 menyebabkan pertumbuhan potensial Indonesia dan banyak negara lainnya mengalami penurunan. Sisi permintaan dan sisi penawaran perlu terus di dorong untuk menjaga agar pereokonomian tidak mengalami kontraksi yang terlalu besar dan lama.

“Dukungan terhadap dunia usaha juga diperlukan agar pada saat pandemi berlalu, dunia usaha masih dapat bangkit kembali,” kata Masyita, di Jakarta.

Sebelum wabah Covid-19, pertumbuhan potensial Indonesia berada di kisaran 5%. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal seperti produktivitas dan nilai tambah (value added) yang belum memadai.

Perekonomian Indonesia, berdasarkan data, masih bergantung pada sektor komoditas, industri dan jasa yang memiliki nilai tambah rendah.

Pemerintah memiliki visi untuk menjadi Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045. Untuk mencapai cita-cita besar tersebut, pertumbuhan ekonomi perlu ditingkatkan di atas potensial.

“Meningkatkan pertumbuhan ekonomi di atas potensial dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas dan daya saing perekonomian. Sehingga dengan jumlah tenaga kerja yang sama, kita dapat menghasilkan lebih.” Ungkap Masyita.

Peningkatan daya saing dapat ditempuh melalui beberapa perbaikan struktural, salah satunya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

“Pengeluaran di bidang pendidikan sebetulnya cukup memadai, yaitu 20% dari PDB. Dengan penyerapan yang optimal, kebijakan ini dapat meningkatkan sumber daya manusia sehingga produktivitas tenaga kerja Indonesia dapat bersaing dibandingkan dengan negara peers.” Jelas Masyita.

Masyita mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah kendala yang menghambat daya saing Indonesia, seperti biaya logistik yang cukup tinggi.

Pembangunan infrastruktur yang telah digenjot beberapa tahun ke belakang, menurut Masyita dapat menjadi solusi untuk mengatasi hal tersebut ke depannya. Selain itu, struktur ekonomi pun perlu diubah untuk menyasar sektor-sektor dengan nilai tambah tinggi.

Hilirasi sektor pertambangan, telah mulai dilakukan pemerintah untuk meningkatkan value added di sektor ini. Namun, reformasi struktural tidak bisa dalam waktu singkat mengubah sektor-sektor ekonomi yang selama ini dominan.

Untuk diversifikasi sektor, solusi yang dapat dilakukan menurut Masyita adalah dengan meningkatkan nilai tambah dari sektor-sektor baru lainnya.

Hal lain yang juga perlu dilakukan adalah reformasi di bidang pertanian. Sektor ini masih dapat menjadi penyumbang PDB dan tenaga kerja terbesar, dan merupakan sektor yang menjadi shock absorber saat kontraksi ekonomi atau krisis terjadi.

Masyita mencontohkan krisis Asia tahun 1997, di mana banyak pengangguran yang beralih kembali ke desa dan masuk ke sektor pertanian. Oleh karena itu, di masa pandemi ini sektor pertanian juga menjadi peredam dampak krisis.

“Sektor ini adalah salah satu sektor yang masih dapat tumbuh positif di kuartal kedua, di saat sektor-sektor utama lain mengalami kontraksi.” tutup Masyita.