Tembus Rp 5.940 triliun Utang Luar Negeri Indonesia, Begini Kata Stafsus Menkeu

Loading

goodmoneyID – Indonesia masuk ke dalam 10 negara dengan pendapat kecil-menengah yang memiliki utang terbanyak. Hal ini terungkap dalam International Debt Statistics 2021 (Statistik Utang Internasional 2021) yang baru saja dikeluarkan oleh Bank Dunia.

Laporan itu menyebutkan Indonesia dengan jumlah utang luar negeri sebesar USD 402,08 miliar atau sekitar Rp 5.940 triliun (kurs Rp 14.775) di tahun tahun 2019. Hal ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-7 setelah China, Brazil, India, Rusia, Meksiko, dan Turki.

Banyak yang mengkhawatirkan besarnya utang luar negeri Indonesia ini. Namun, staf khusus Menteri Keuangan untuk Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin, menyatakan utang Pemerintah Indonesia dikelola dengan sangat hati-hati dan akuntabel.

“Bu Sri Mulyani dikenal prudent dalam menjaga fiskal kita, sehingga resiko yang ada masih manageable dan terjaga,” ujarnya.

Bahkan, lanjut Mayita dalam 4 tahun terakhir, kebijakan fiskal kita diarahkan untuk mengurangi angka primary deficit, sudah sangat mendekati angka positif di tahun ini, sebelum pandemi terjadi.

“Data ini adalah data utang luar negeri (ULN) total, termasuk swasta. Bukan semuanya utang Pemerintah Indonesia. ULN Pemerintah hanya 29.8% saja dari keseluruhan hutang Indonesia yang tercantum di dalam International Debt Statistics 2021 yang diterbitkan Bank Dunia. Sisanya merupakan utang swasta. Jauh jika dibandingkan dengan rerata negara sesama kategori BBB Fitch, sebesar 51.7%”, ungkap Masyita.

Membandingkan ULN antar negara perlu melihat nilai PDB-nya juga, Ibarat membandingkan nilai KPR, perlu disesuaikan dengan penghasilan. Berbanding dengan pendapatan domestik bruto (PDB) porsi hutang Indonesia hanya 35.8% per Oktober 2019.

“Selain itu, ULN kita juga jangka panjang membuat resiko fiskal kita untuk membayar kewajiban masih manageable,” jelas Masyita.

Selain itu, kebijakan ULN tidak dapat dilihat sebagai sebuah kebijakan yang berdiri sendiri. Negara yang sedang membangun memiliki nilai Investasi yang lebih tinggi dari tingkat Savingnya, atau dikenal sebagai ‘Saving-Investment Deficit’, dalam hal ini perbedaannya ditutup dengan ULN. Sepanjang return terhadap investasi tersebut lebih tinggi dibandingkan biaya bunga, maka sebuah negara akan mampu membayar kembali.

Indonesia sendiri, sebelum pandemi, ULN digunakan untuk membangun proyek-proyek strategis dengan tujuan untuk meningkatkan dan memeratakan pertumbuhan di seluruh pelosok.

“Kita perlu menutup gap infrastruktur dan mengurangi biaya logistik agar dapat meningkatkan daya saing. Hal ini pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas pertumbuhan ekonomi potensial,” terang Masyita.

Dari keseluruhan jumlah ULN, sebagian besar (88.4%) merupakan utang jangka panjang. Ini membuat risiko fiskal Indonesia jangka panjang juga masih terjaga karena beberapa alasan. Pertama, porsi utang valas (29% per 31 Agustus 2020) masih terjaga sehingga resiko nilai tukar lebih bisa dikelola dengan baik (manageable).

Kedua, profil jatuh tempo utang kita juga cukup aman dengan average time maturity atau ATM 8,6 tahun (per Augstus 2020) dari 8.4 tahun dan 8,5 tahun di tahun 2018 dan 2019.

“Untuk memitigasi risiko fiskal, terutama pada portofolio utang, kita juga melakukannya strategi aktif meliputi buyback, debt switch, dan konversi pinjaman. Selain itu, secara umum tetap dilakukan manajemen yang baik terhadap waktu jatuh tempo dan pendalaman pasar keuangan,” pungkasnya.