KADIN Buka-Bukaan, Dampak Covid-19 Pada Dunia Usaha Di Indonesia

Loading

goodmoneyID – Pandemi Covid-19 tak habis-habisnya menjadi pembicaraan, pasalnya virus ini belum bisa diprediksi kapan berakhir. Sedangkan dampaknya makin dirasakan oleh hampir seluruh lapisan  masyarakat di Indonesia. Dimana semua lini sektor perdagangan di Indonesia kian terhimpit oleh Covid 19 ini.

Waketum Kamar Dagang Indonesia (KADIN) Bidang CSR dan Ketum HIPPI Dr. Suryani Motik, membeberkan bahwa Covid-19 dampaknya tak bisa hilang pada dunia usaha jika leadnya (ujung tombaknya) yakni kesehatan belum juga pulih.

“Dalam konteks Covid-19 leadnya adalah kesehatan. Kalau kesehatan diurus dengan baik yang lain akan ikut baik. Sayangnya kita melihat fokus ke kesehatan masih setengah-setengah. Akhirnya ekonomi pun masih akan terdampak, kita sulit untuk dapat berpikir tenang,” ujar Suryani Motik, dalam sebuah webinar, Kamis (18/6).

KADIN mencatat bahwa Lebih dari 6,4 juta Tenaga Kerja di indonesia telah dirumahkan atau PHK. Lebih rinci, sektor yang paling banyak terkena PHK adalah industri Tekstil sebanyak 2,1 Juta orang telah di PHK. Lalu Transportasi darat ada 1,4 juta orang, Restoran 1 juta orang, industri Sepatu dan Alas Kaki 500 ribu orang, Perhotelan 430 ribu orang, Retail  400 ribu orang, terakhir bahkan di industri Farmasi juga ada PHK sebanyak 200 ribu orang.

Sementara itu, Menurut data terbaru Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi khusus di DKI Jakarta, ada sebanyak 30,13 ribu pekerja dilaporkan harus kehilangan pekerjaan karena PHK massal, sedangkan 132,27 ribu pekerja lainnya kehilangan penghasilan karena dirumahkan tanpa upah.

Kata Suryani, Omzet yang drop membuat Cashflow dunia usaha jadi mandek, akhirnya langkah PHK diambil oleh beberapa pengusaha.

“Saat ini Occupancy Rate sektor perhotelan bahkan anjlok, sekarang tinggal 10%. Lebih dari 2 ribu Hotel yang melaporkan tutup ke PHRI. Sektor Manufaktur secara umum produksinya turun sekitar 50%. GAIKINDO melaporkan bahwa penjualan mobil tahun 2020 bisa turun dari 1,1 juta unit  menjadi sekitar 400 ribu unit. Industri Elektronik (GABEL) melaporkan penurunan 50-60%,” ujar Suryani.

Selain itu, Industri Makanan Minuman (GAPPMI) juga turun 40-50%. Bahkan Retail (HIPPINDO) menyatakan bahwa hanya 50% dari tenant mall yang bisa buka kembali setelah tutup lebih dari 3 bulan. Dan selama PSBB, 96% mall tutup.

Bahkan, UMKM dan sektor Informal yang biasanya menjadi penggerak ekonomi dan paling tahan krisis, kali ini menjadi segmen yang paling terdampak karena tidak bisa beroperasi karena PSBB. Menurut Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), berdasarkan hasil survey, tercatat 40% UMK dan UKM akan berhenti beroperasi karena dampak Covid-19.

Melihat hal ini Pemerintah pun tak tinggal diam, beberapa kebijakan dikeluarkan demi menggenjot iklim usaha di Indonesia kembali pulih. Salah satunya dengan melonggarkan kebijakan PSBB, dan menuju fase New Normal.

Hal ini disambut baik oleh dunia usaha, Suryani menjelaskan dunia usaha memang membutuhkan New normal atau PSBB berakhir. Tetapi di sisi lain, ini menjadi tantangan baru bagi para pengusaha. Pasalnya, Beban anggaran para pengusaha menyiapkan protokol kesehatan menuju new normal tidak murah dan ini ditanggung sendiri oleh para pengusaha.

“Ini yang kami tekankan bahwa walau New Normal, kalau demand tidak dibuat bagi dunia usaha, ini kecelakaan kedua. Dunia usaha dibuka tapi tidak ada yang beli ini masalah. New normal ada cost cost tambahan, seperti masker, alat cuci tangan, dan desinfektan untuk para karyawan, itu dibebankan kepada perusahaan,” tegas Suryani.

Seharusnya Indonesia bisa meniru Thailand, dimana cost tambahan untuk protokol Covid-19 ditanggung oleh Pemerintah.

“Seharusnya tidak dibebankan pada dunia usaha. Kemudian Menteri Perindustrian, bahkan semua berlomba untuk mengeluarkan peraturan pasca Covid-19. Ini bagus, asal dunia usaha tidak dibebani atau kalau kata Pak Presiden sharing the pain. Kadin iri, banyak peraturan-peraturan yang momennya tidak tepat dan cenderung membebani pengusaha,” tutup Suryani.