Perbedaan Krisis Ekonomi Covid-19 Dengan Krisis Ekonomi 2008

Loading

goodmoneyID – Mantan Menteri Keuangan Periode 2013-2014 Chatib Basri sebut penanganan pada pelemahan perekonomian global saat ini pandemi Covid-19 berbeda dengan krisis finansial global pada tahun 2008.

Menurutnya, Krisis Ekonomi 2008 merupakan krisis finansial yang disebabkan oleh fenomena subprime mortgage yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Karena krisis tersebut di AS, perdagangan global terkena imbasnya. Sehingga yang dilakukan oleh pemerintah pada saat itu yaitu membuat stimulus fiskal yang bersifat untuk mendorong perekonomian domestik.

“Karena eksternalnya rusak. Jadi dikeluarkan stimulus fiskal untuk mendorong daya beli, pajak dipotong,” ujar Chatib melalui video conference di youtube Kemenkeulib, Selasa (21/4).

Lanjut Chatib, hasilnya Indonesia berhasil masuk ke dalam negara yang tumbuh paling tinggi di dunia dikala krisis global. Saat itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,4%.

Namun, Chatib mengingatkan bahwa situasi saat ini berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya. Sebab, krisis kali ini menyebabkan supply shock dan demand shock. Dari sisi permintaan (supply), Tiongkok merupakan salah satu negara tujuan ekspor terbesar bagi banyak negara termasuk Indonesia, dan mengalami penurunan akibat melambatnya perekonomian Tiongkok sebagai imbas Covid-19.

Oleh karena itu, nilai ekspor Indonesia sangat terpukul terutama dari ekspor komoditas batu bara dan kelapa sawit.

“Sudah kelihatan dampaknya terhadap penerimaan pemerintah karena kontributor pajak terbesar dari perusahaan batu bara dan kelapa sawit. 50 orang terkaya di indonesia perusahaannya natural resources kecuali diluar rokok,” jelasnya.

Chatib menambahkan Tiongkok saat ini merupakan salah satu bagian terbesar terhadap jaringan supply global. Jika Tiongkok tidak dapat memproduksi komponen, maka negara-negara lain pun juga tidak dapat memproduksi barang-barang juga.

Adapun kontribusi Tiongkok terhadap kegiatan ekspor global paling dirasakan pada sektor komputer, produk elektronik, mesin-mesin, dan kendaraan bermotor.

“Jadi karena Tiongkok kena, global production juga terdampak, terjadilah supply shock,” tutupnya.