goodmoneyID – Gembar-gembor literasi keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ternyata tidak diikuti oleh perlindungan konsumen yang memadai. Akibatnya, posisi tawar konsumen tidak kuat dihadapan korporasi sektor jasa keuangan. Padahal, perlindungan konsumen merupakan salah satu pilar dalam program Literasi Keuangan. Demikian kesimpulan refleksi pengaduan konsumen ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sepanjang 2019.
Total pengaduan konsumen ke YLKI mencapai 1.871 pengaduan. Ada dua jenis pengaduan yaitu pengaduan kategori individual sebanyak 563 kasus, dan pengaduan kategori kelompok/kolektif sebanyak 1.308 kasus. Berikut 10 besar pengaduan konsumen:
- Perbankan (106 kasus),
- Pinjaman online (96 kasus),
- Perumahan (81 kasus),
- Belanja online (34 kasus),
- Leasing (32 kasus),
- Transportasi (26 kasus),
- Kelistrikan (24 kasus),
- Telekomunikasi (23 kasus),
- Asuransi (21 kasus), dan
- Pelayanan publik (15 kasus).
“Masih maraknya pengaduan produk jasa finansial tersebut menjadi indikator bahwa OJK belum melakukan pengawasan yang sungguh-sungguh pada operator. YLKI menduga masih lemahnya pengawasan OJK terhadap industri finansial, dikarenakan OJK tidak mempunyai kemerdekaan finansial dalam menjalankan tugas dan fungsinya,” ujar Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI di Jakarta, (14/1).
Dari data sepuluh besar pengaduan konsumen tersebut, pengaduan konsumen produk jasa finansial sangat dominan, yakni 46,9 persen, yang meliputi 5 komoditas, yakni bank, uang elektronik, asuransi, Leasing, dan pinjaman online. Kemudian rating kedua disusul oleh sektor perumahan sebesar 14,4 persen, sektor e-commerce 6,3 persen, sektoral ketenagalistrikan 4,2 persen dan sektor telekomunikasi 4,1 persen.
Menarik dicermati adalah pengaduan produk jasa keuangan, yang sejak 2012 menduduki rating yang sangat dominan dalam pengaduan di YLKI, selalu pada rating pertama.
“Literasi finansial konsumen di bidang jasa keuangan masih rendah, sehingga tidak memahami secara detil apa yang diperjanjikan atau hal hal teknis dalam produk jasa finansial tersebut. Apalagi saat ini maraknya pinjaman online, semakin masif pelanggaran hak hak konsumen di bidang jasa finansial,” pungkas Tulus.