Kebijakan Pangan Terbuka Diklaim Bisa Tekan Dampak Covid-19

Loading

goodmoneyID – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menyatakan, kebijakan pangan pasar terbuka bisa menjadi solusi untuk menekan dampak pandemi covid-19 di Indonesia.

Pandemi covid-19 menjadi salah satu penyebab naiknya harga berbagai komoditas pangan di Indonesia. Keterbatasan produksi pangan dalam negeri menyebabkan keterbatasan pasokan di pasar yang pada akhirnya menyebabkan harga semakin tinggi.

Felippa menyatakan, kebijakan pangan open market dapat menjadi solusi dalam menekan penyebaran virus corona baru di Indonesia. Kabijakan open market ini berarti pemerintah idealnya mengutamakan kebijakan yang fokus pada ketersediaan dan akses masyarakat terhadap komoditas pangan dan barang-barang penting.

Ketersediaan komoditas pangan dan barang-barang penting di pasaran, bisa memudahkan masyarakat mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan harga terjangkau. Pemerintah juga dapat terus menjaga tumbuhnya konsumsi sebagai bentuk stimulus terhadap perekonomian nasional yang juga terdampak pandemi covid-19.

“Pemerintah perlu mengevaluasi berbagai regulasi yang berpotensi menghambat berjalannya kebijakan pangan yang terbuka. Berbagai regulasi, yang dapat digolongkan sebagai pembatasan dan hambatan masuknya komoditas dari pasar internasional, perlu dipastikan efektivitasnya terhadap stabilitas harga di dalam negeri,” ungkap Felippa, di Jakarta (24/3).

Salah satu contoh nyata fluktuasi harga dalam negeri adalah pada bawang putih. Sebanyak 90% bawang putih Indonesia berasal dari China dan karena adanya kebijakan lockdown di China akibat wabah virus corona, pasar bawang putih nasional kekurangan pasokan dan harganya menjadi sangat mahal.

Bawang putih China biasanya berharga Rp7.200 per kilogram dan dijual di Indonesia dengan harga Rp26.600 per kilogram. Saat ini, harga eceran bawang putih di pasar mencapai Rp75.000 per kilogram. Kebijakan yang berlaku di dalam negeri untuk bawang putih adalah wajib tanam bagi importir untuk mendapatkan Rekomendasi untuk Impor Produk Hortikultura (RIPH).

Importir baru bisa menerima dokumen ini kalau mereka menanam sebanyak lima persen dari volume impor bawang putih yang mereka ajukan. Namun kewajiban ini juga tidak mudah untuk dipenuhi, salah satunya adalah karena kesulitan importir untuk menemukan kelompok tani yang dapat diajak bekerja sama dalam menanam. Belum lagi keterbatasan lahan dan juga cuaca.

Bawang putih membutuhkan cuaca dingin dan tumbuh dengan baik di iklim subtropis. Iklim topis Indonesia tentu tidak akan membuat bawang putih tumbuh dengan baik.

“Akibatnya mereka kehilangan lisensi impor mereka. Kemudian mereka memulai perusahaan baru, mengajukan lisensi baru, gagal lagi, dan permainan berlanjut dengan pemain yang itu-itu saja. Belum lagi sistem kuota yang rawan disalahgunakan. Sistem ini juga meniadakan kompetisi yang sehat antar importir,” terangnya.

Pembatasan impor sudah terbukti merugikan konsumen Indonesia, termasuk para petani yang selalu disebut-sebut merugi karena kebijakan impor. Petani juga termasuk konsumen karena mereka membeli komoditas pangan lebih banyak daripada yang mereka tanam sendiri.

Untuk memastikan impor tidak merugikan petani, sekali lagi pemerintah perlu mendukung upaya peningkatan produktivitas dan usaha petani, seperti dengan akses finansial atau dukungan teknologi.

CIPS mendorong pemerintah membuat kebijakan yang diperlukan untuk menjaga ketersediaan komoditas pangan. Undang-undang saat ini masih mengatur bahwa permintaan pangan dalam negeri harus dipenuhi oleh pasokan domestik, impor hanya diperbolehkan jika produksi dalam negeri tidak mencukupi.

Dalam rancangan UU Cipta Kerja Omnibus Law, pemerintah menyatakan bahwa kebutuhan pangan domestik akan dipenuhi oleh pasokan domestik dan impor.  “Krisis saat ini tampaknya meyakinkan pemerintah Indonesia untuk mengikuti prinsip ekonomi mendasar, yaitu kebijakan pangan terbuka adalah cara terbaik untuk memastikan akses ke makanan berkualitas yang terjangkau. Sementara para ilmuwan sedang berupaya mencari vaksin melawan covid-19, dalam kebijakan publik, penangkal terbaik terhadap kekurangan pangan adalah kompetisi, kewirausahaan dan kebebasan pasar,” pungkas Felippa.