Pengamat: New Normal, Jam Kerja Pegawai Perlu Disesuaikan

Loading

goodmoneyID – Diberlakukannya fase new normal diberbagai wilayah perlu adanya kehati-hatian dan tanggung jawab semua pihak terkait mobilitas warga. Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno menyebutkan bahwa yang harus dilakukan pemerintah adalah mengelola mobilitas warga mulai dari hulu hingga hilir dengan tetap mengutamakan transportasi umum.

“Saat ini penanganan Covid-19 dari sisi mobilitas baru sebatas di hilir saja, membatasi kapasitas 50% dan sejenisnya. Akan tetapi di hulu masih terlihat kedodoran membatasi pergerakan masyarakat dengan travel demand management (TDM). Pembagian shift jam kerja juga dapat dipakai untuk TDM,” ujar Djoko Setijowarno, dalam keterangan tertulis, Minggu (14/6).

Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dapat meminta Kementerian Negara Penertiban Aparatur Negara untuk mengatur pola kerja Aparatur Sipil Negara (ASN), Kementerian Negara BUMN untuk mengatur pola kerja pegawai BUMN dan Kementerian Tenaga Kerja untuk mengatur pola kerja karyawan swasta.

“Ekonomi memang harus pulih, tapi perlu dipilih-pilih sektor ekonomi mana yang harus bergerak lebih dulu. Intinya sektor-sektor esensial perlu dilepas terlebih dahulu di era new normal. Sektor non esensial dilepas belakangan saat pandemi memang sudah terlihat jelas penurunan kurvanya,” katanya.

Sementara itu, Peneliti Laboratorium Transportasi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Anastasia Yulianti menyebutkan Saat pandemi Covid-19, semua industri transportasi babak belur termasuk di Amerika Serikat.

“Yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat saat ini, yaitu memberikan bantuan atau insentif kepada pelaku industri transportasi sebagai jaring pengaman, agar tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan selanjutnya saat kondisi menuju normal, insentif ini bisa digunakan untuk modal operasi,” kata Anastasia.

Menurut Anastasia, kedepannya, sistem pembelian layanan (buy the service) yang dirintis oleh Ditjen Hubdat Kementerian Perhubungan juga harus ada klausul penggunaan dananya untuk membantu pelaku industri saat terjadi force majeur seperti saat ini. Saat Covid-19, Trans Jakarta, KRL Jabodetabek, MRT Jakarta, LRT Jakarta pasti mengalami penurunan penumpang luar biasa dimana otomatis dana buy the service atau PSO (public service obligation) tidak terpakai optimal. Perlu kiranya agar dana buy the service ini juga dapat ditransfer menjadi dana jaring sosial industri transportasi agar tidak ada PHK massal,” imbuh Anastasia.

Saat ini, Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan mengalokasikan PSO di tahun 2020 sebesar Rp2,67 triliun. Untuk KRL Jabodetabek mencapai Rp1,55 triliun (0,58%). PSO KRL ini merupakan yang terbesar karena yang mempunyai 44 relasi dan dalam Grafik Perjalanan Kereta Api (Gapeka) 2019 akan melayani 1,057 perjalanan setiap harinya.

“Untuk mengurangi beban pemerintah, perlu ada restrukturisasi tarif KRL. Tarif bersubsidi diberikan bagi penumpang penglajo. Beberapa tahun lalu sudah pernah dilakukan kajian atau studi oleh Ditjen. Perkeretaapian berkenaan dengan rencana perubahan pola tarif KRL Jabodetabek. Hari Sabtu, penumpang penglajo sekitar 5% dan di hari Minggu hanya 3%. Pengguna KRL di akhir pekan kebanyakan bermobilitas dengan tujuan sosial (wisata, belanja, keperluan keluarga dan lain-lain). Perlu dikurangi secara bertahap penghilangan subsidi di akhir pekan,” tambahnya.

Untuk membantu pengusaha transportasi umum, misalnya dapat dilakukan kerjasama dengan pengusaha/industri untuk mengangkut pegawai. Pengusaha dapat mengalihkan tunjangan transportasi pekerja untuk digunakan sewa bus. Bus umum dapat beroperasi, pengusaha dapat menghemat biaya transportasi yang diberikan perorangan. Pekerja yang biasanya naik sepeda motor dan memenuhi ruang parkir, sekarang naik bus umum.

“Demikian pula dengan Kementerian, Lembaga dan BUMN yang memiliki kendaraan antar jemput pegawainya, dapat menambah jumlah armadanya, agar pegawainya dapat menggunakan transportasi umum,” tutup Anastasia.