Resiko dan Langkah Mitigasi Pemanfaatan Mobil Listrik pada Tranportasi di Indonesia

Loading

goodmoneyID – Sekretaris Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Barat, Muhamad Isnaeni mengatakan penyelenggaraan transportasi kendaraan listrik, tetap saja adalah media transportasi (bisa berupa mobil, bus, sepeda motor) yang dioperasikan di jaringan jalan, namun bedanya sumber energinya berasal dari battere (baterai) yang ditanam, bukan lagi Bahan Bakar Minyak (BBM).

Karena menggunakan baterai maka mobil dapat di-recharge menggunakan berbagai sumber energi yang diharapkan lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Keunggulan lainnya adalah polusi udara dari knalpot kendaraan tidak lagi mencemari udara kota.

“Tentu saja, persyaratan teknis dan kelaikan kendaraan (sebagaimana yang berlaku pada kendaraan konvesional BBM) sesuai peraturan perundangan tetap harus dipenuhi oleh kendaraan listrik yang beroperasi di jalan. Isu ini sudah diantisipasi oleh Kementerian Perhubungan dengan dikeluarkannya sejumlah Peraturan Menteri Perhubungan (PM) pada Tahun 2020 (yakni: PM 44/2020, PM 45/2020, PM 65/2020, PM 87/2020, dan PM 86/2020), meski tentu saja akan diperlukan sejumlah penyempurnaan dalam aturan tersebut jika terdapat perkembangan teknis di lapangan,” ujar Muhamad Isnaeni dalam keterangan tertulisnya kepada media, Jumat (28/1).

Permasalahan yang kemungkinan besar akan muncul terkait dengan penerapan “kendaraan listrik” ini adalah “bagaimana efektivitas kerja Pemerintah untuk bisa mengawal proses migrasi dari era kendaraan BBM menuju era kendaraan listrik dengan tidak menimbulkan gejolak di masyarakat (smooth migration)”.

Beberapa permasalahan yang mungkin akan muncul dan langkah mitigasi yang perlu dilakukan adalah:

  1. Harga pembelian kendaraan dan biaya operasional yang saat ini masih relatif tinggi

Di pasaran harga kendaraan listrik baru masih lebih mahal 30-40% dari mobil konvensional karena teknologi ini masih relatif baru. Harga suku cadang dan perawatannya masih cenderung lebih tinggi. Sedangkan biaya charging battere ditengarai saat ini sudah jauh lebih murah dibandingkan pembelian BBM. Oleh karena itu, perlu adanya insentif/disinsentif agar harga kendaraan listrik bisa bersaing dengan kendaraan konvensional.

2. Ketersediaan infrastruktur pendukung ekosistem kendaraan listrik yang masih terbatas

Ketersediaan SPKLU, bengkel, mekanik, dan pasar suku cadang masih menjadi pertanyaan bagi masyarakat yang saat ini masih ragu-ragu untuk beralih ke kendaraan listrik. Perlu ada semacam penugasan kepada PLN atau bisa bekerjasama dengan Pertamina untuk menyediakan SPKLU secara meluas.

3. Dampaknya terhadap operator angkutan umum

Operator angkutan umum eksisting sudah terlanjur berinvestasi pada sarana angkutan berbasis BBM, dan diperlukan waktu yang lebih panjang untuk beralih ke kendaraan listrik. Oleh karenanya, perpindahan secara gradual sarana angkutan umum ke armada listrik perlu didukung oleh pendanaan khusus dari Pemerintah. Sepertinya diperlukan Program Fasilitasi Migrasi Angkutan Umum ke Kendaraan Listrik. 

Pengamat Transportasi sekaligus Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN), Deddy Herlambang mengatakan kalimat yang sama yakni harus ada langkah mitigasi khusus dari pemerintah sebelum meresmikan kendaraaan moda transportasi listrik.

“Tapi kalau masalah gas bisa, namun jika sumber energi listrik berbeda karena menggunakan baterai. Pakai fleksi motor tanpa suara yang sebenarnya belum ada regulasinya. Jika dilihat ya memang UU ada tapi turunan UU belum ada, bahkan PP nya di permenhub juga belum ada.  Masih memperhatikan moda tranportasi ini karena masuk barang mewah. Tapi kalu dari pajak Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) belum bisa di hitung karena belum ada CC nya. Regulasi kita kan pakai CC 1000 misalhnya pendapatan sekian BPKB sekian biaya Pajak kendaraan itu belum ada,” kata Deddy Herlambang.

Lanjutnya, ini hanya himbauan dan untuk SPBU untuk regulasi batrai listrik belum ada, jadi harus jelas.

“Tapi yang jelas soal listrik yang harus di perhatikan pemerintah dari limbah baterai itu yang sudah tidak terpakai itu kan belum ada aturannya. Contohnya cara kita membuang ukuran baterai ukuran sedang dan besar yang habis itupun harus difikirkan dalam regulasi karena memang itu mengandung zat kimia,” imbuh Deddy Herlambang.

Apalagi untuk ukuran besar 1 meter persegi untuk moda transportasi itu untuk pembuangan sampahnya bagaimana. Harus ada mitigsinya, jangan asal membeli namun juga merawat lingkungan.

“Menurut saya perbindahan dari energi fosil ke listrik bukan solusi utama moda tranportasi karena tetap menyebabkan kemacetan dan tidak berdampak besar sekali, kecuali hanya untuk bus saja. Karena yang penyumbang terbanyak dari motor,” kata Dedy.

Saya bilang regulasi belum ada, KLH sendiri belum menyentuh masalah limbah-limbah baterai bagaimana. Karena kita masih massal.  Ya memang kita akui pemerintah kita selalu terlambat dalam urusan teknologi.

Sementara tuntunan pasar dan pabrik semua seperti, tapi regulasi belum ada sama aja dengan kendaraan-kendaraan listrik. Terus terang peraturan listrik ini soal pajaknya saja belum ada, terus udah ada regulasinya tapi barangnya belum ada tetap tidak berlaku. Sementara untuk antar kementerian lembaga selalu bekerjasama.

Biasanya Kemeterian Perhubungan membuat regulasi dan  ISGM membuat program untuk energi terbarukan bagaimana atau solusi atau alternatif masih belum jelas. Karena listrik kita memakai PLN memakai Power Plain. Yang ketiga adalah limbah baterai yang dapat merusak lingkungan. Harus ada langkah mitigasi pemerintah disetiap jajarannya yang berbeda menangani masalah ini.

Investasi itu boleh tetapi bukan harus ujuk ujuk ada kan perangkat hukumnya belum ada, kebutlan di regulasi belum ada. Ingin dibuat baterai seperti apa harus jelas. Namun kalau di indonesia hanya sekedar produksi lalu ekspor bisa saja. Tapi kalau untuk segmen dalam negeri dan asia yang silahkan aja.

Mahal karena masuk termasuk barang mewah, nanti kalau sudah masal jadi masih mahal. Bahkan soal regulasi, pengujian, safety (keamanan), suara kendaraan, regulasi aturannya belum ada kejelasannya.

“Permen sendiri belum ada, kementerian keuangan belum ada pajaknya, kalau bensin solar ada CC. Apa yang di hitung kualitas baterai. Kita belum tahu layak jalan atau engga. Kalau tesla oke tapi masih ada yang gagal. Dan itupun belum ada hitungan.  Dilihat kembali Regulasi dan mitigasi pajak, pengujian fisik dan RPJMP masih belum jelas berhenti menggunakan transportasi fosil atau energi terbarukan,” tutup Deddy Herlambang.