Begini 4 Risiko Pelebaran Defisit APBN dan Pembiayaannya Dari Anggaran Covid-19 Rp 405 Triliun

Loading

goodmoneyID – Kebijakan Pemerintah terkait penambahan stimulus yang menghabiskan total anggaran Rp 405 Triliun guna pengganggulangan Covid-19, berpotensi ancam pelebaran defisit anggaran hingga Rp 852 triliun atau 5,07% terhadap PDB (Produk Dometik Bruto). Pemeritnah telah memutuskan, penambahan stimulus tersebut untuk diprioritaskan pada tiga kegiatan yakni untuk mempercepat penanggulangan Covid-19, memberikan bantuan kepada masyarakat terdampak, dan melindungi ketahanan dunia usaha.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah dan Ekonom CORE Indonesia Yusuf Manilet dalam laporan terbarunya, Kamis (09/4) menilai setidaknya ada empat potensi risiko yang perlu diantisipasi pemerintah akibat pelebaran defisit dan pembiayaan anggaran hingga tahun 2022.

Pertama, risiko dominasi kepemilikan asing pada surat utang pemerintah. Dengan melebarnya defisit anggaran tentunya akan mendorong pemerintah untuk menerbitkan surat utang (SUN) sebagai salah satu sumber pembiayaan defisit yang semakin besar.

Sayangnya penerbitan SUN masih sangat bergantung pada investor asing. Sekitar 35 sampai 40 persen SUN yang diterbitkan pemerintah dipegang oleh investor asing. Angka ini relatif besar jika dibandingkan dengan negara-negara peer seperti Thailand, Malaysia, ataupun Tiongkok.

Kondisi ini menjadikan struktur pembiayaan anggaran akan sangat rentan terhadap pelarian modal secara tiba-tiba (sudden capital outflow). Contoh teranyar bisa dilihat pada bulan Februari dan Maret lalu ketika dana asing keluar sebanyak 145 triliun dari surat utang pemerintah. Dampaknya imbal hasil SUN meningkat dan beban biaya penerbitan SUN di masa mendatang menjadi lebih besar.

Kedua, Risiko pelemahan nilai tukar. Tingginya kepemilikan asing pada surat utang pemerintah juga meningkatkan risiko sudden capital outflow yang akan mendorong pelemahan nilai tukar. Selama Januari sampai dengan akhir Maret rupiah melemah sebesar 17,4 persen. Pelemahan ini salah satunya disebabkan oleh aliran modal keluar yang terjadi di pasar keuangan. Jika dibandingkan dengan negara lain, pelemahan nilai tukar Rupiah merupakan salah satu pelemahan mata uang terdalam di dunia.

Ketiga, Risiko crowding out. Hal ini bisa terjadi karena pelebaran defisit anggaran akan menyerap banyak likuditas dari perbankan. Dampaknya, swasta akan semakin kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri. Kalaupun mereka mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang (obligasi), mereka harus menawarkan surat utang dengan imbal hasil yang lebih tinggi untuk bersaing dengan surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah.

Keempat, Risiko peningkatan utang luar negeri swasta. Jika pihak swasta kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri maka opsi utang luar negeri menjadi pilihan yang lebih menarik, terutama ketika suku bunga di luar negeri cenderung menurun.

Peningkatan utang luar negeri swasta perlu menjadi perhatian karena 89% utang luar negeri swasta berdenominasi US Dollar dan rentan terhadap fluktuasi nilai tukar. Risiko bertambah bagi swasta yang menjual barang dan jasa yang terkait komoditas. Potensi pelemahan harga komoditas bisa berdampak terhadap memburuknya cash flow perusahaan dan berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar.

“Faktanya pertumbuhan utang luar negeri swasta yang bergerak di sektor komoditas lebih tinggi dibandingkan sektor-sektor lain seperti manufkatur ataupun keuangan,” ujar Piter.

Namun Piter menggaris bawahi hal ini bukan hanya akan terjadi di Indonesia, negara lain juga diprediksikan akan mengalami pelebaran defisit anggaran, karena dampak negatif coovid-19 ini.

“Negara tetangga Malaysia misalnya dengan tambahan insentif sebesar 250 miliar Ringgit Malaysia, defisit anggaran Malaysia akan berada dikisaran 4,5% terhadap PDB lebih tinggi dibandingkan defisit pada tahun lalu yang mencapai 3,4%. Bahkan Perancis berencana meningkatkan defisit anggarannya hingga 7%,” tutup Piter.